Tuhan Fair Play, Dong..

Perempuan tua itu meringis kesakitan ketika anak asongan penjaja permen dan rokok sekonyong-konyong menerobos barisan para penumpang yang keletihan. Bahkan perempuan tua itu hampir terjatuh kalau saja bahunya yang doyong tidak tertopang badan gemuk lelaki berkumis tebal yang berlepotan asap rokok.

“Uups.., hampir saja,” gumam si nenek bersyukur meski sejurus kemudian hatinya mengumpat karena jantungnya yang karatan harus empot-empotan menahan sambaran asap rokok.

Si anak asongan yang menjadi pelaku insiden itu hanya cengar-cengir, dingin. Tidak ada kata maaf yang terucap. Begitu juga ketika laki-laki berjaket kulit lusuh mengumpatnya karena sepatu hitam yang dibelinya di emperan Blok M dua hari lalu terinjak. Kali ini si anak asongan pun diam, bahkan tak ada cengar-cengir. Lebih dingin, anarkis!

Mang Endut yang duduk ngedeprok tak jauh dari insiden itu ikut mengumpat dalam hati. Ooh, siakul (sialan, pen) benar si anak asongan itu. Tak tahu rasa hormat! Mang Endut yakin benar si anak asongan tak belajar banyak tentang tatakrama, unggah-ungguh, atau sopan santun. Diajari apa saja oleh orangtuanya?

Episode umpat-umpatan di benak Mang Endut tak berlangsung lama. Karena matanya yang sejak tadi mengikuti arah punggung si anak asongan terbentur badan seorang perempuan nan aduhai. Ah, dasar mata lelaki. Mang Endut yang sudah terlatih dalam perihal ini langsung mengambil sikap ‘waspada’. Matanya yang sebenarnya sudah kriyep-kriyep (mengantuk, pen) dicobanya untuk kembali terjaga.

“Ah, Tuhan memang Maha Adil. Di antara sekian banyak manusia kucel, ada saja bidadari yang dikirim untukku,” gumamnya sok tahu.

Bagi Mang Endut sosok perempuan itu, boleh jadi, adalah anugerah. Kepenatannya yang telah berlangsung sejak dari Stasiun Gambir sedikit pudar. Untuk kali ini, bahkan Mang Endut merasa kecolongan. Dia tidak habis pikir, kenapa baru sekarang matanya melihat perempuan itu. Kenapa setelah melewati Stasiun Universitas Indonesia bidadari itu menampar mukanya yang kusut? Mang Endut menjerit dalam hati. Mang Endut mendesis geram.

Oh, malangnya Mang Endut.

Kemalangan Mang Endut ternyata masih berlangsung. Perempuan nan aduhai itu ikut turun bersama penumpang lainnya ketika kereta berhenti di Stasiun Depok. Dengan sedikit berdesakkan, perempuan itu turun sambil menenteng tas biru berornamen bunga matahari.

Oh, malangnya Mang Endut.

Bayangan perempuan nan aduhai dengan kaus ketat warna putih, celana jeans biru, membuainya ke dimensi khayal.

Oh, andai saja dia mau diajak keliling ITC Depok sebentar saja. Oh, andai saja dia mau diajak menikmati es krim di ujung mall. Oh, andai saja dia mau diajak mampir ke warung tenda di seberang stasiun. Oh, andai saja dia mau diajak ‘sharing’ tentang cinta. Oh, andai saja dia mau... Nyi Larung, good bye.

Mang Endut terlelap membawa khayalan itu ke dimensi mimpi.


***

“Mbok, kenapa saya tidak boleh mencintai Larasati?” Janthuk meradang dengan tatapan serius memandang ibunya.

“Ooalah, Le.. mbok ya kamu sadar. Siapa dirimu dan siapa Ndoro Larasati.” tegas benar jawaban yang diberikan si ibu.

“Saya tidak mengerti, Mbok..”

“Le, kita ini hanya orang miskin. Sampai sekarang saja kita sudah tidak makan nasi sejak dua hari lalu. Beruntung masih ada sisa gaplek yang dikirim tetangga, sehingga kita tidak mati kelaparan. Dan kamu sendiri juga harus sadar, Le. Ndoro Larasati itu ayune kayak Dewi Sembodro. Sementara kamu.. Oh, mukamu bopeng karena bisul yang tak kunjung sembuh sejak kamu dilahirkan. Le, eling yo..”

Janthuk terdiam.

Memang benar apa yang dikatakan ibunya, bahwa mencintai Larasati ibarat punduk merindukan rembulan. Janthuk sendiri sebenarnya sudah paham kondisi ini. Bahkan, telah sejak lama Janthuk mengerti betapa jauh jurang yang menganga di antara dirinya dan Larasati. Janthuk telah sangat paham, lebih paham dari siapapun yang mengenal dirinya.

Yang tidak habis pikir dalam benak Janthuk adalah mengapa Tuhan begitu tega telah menciptakan dirinya berbeda dengan lelaki lainnya. Janthuk berbadan pendek, berkulit legam, bergigi tonggos, dan berwajah bopeng akibat bekas pecahan bisul-bisul yang dideritanya sejak kecil. Sementara lelaki lain berbadan sempurna, meski dengan standar yang berbeda. Jika ada yang jelek, tak ada satupun lelaki di kampung Janthuk yang melebihi kejelekannya. Apalagi Raden Emin yang rupawan ditunjang kepintaran di atas rata-rata.

“Mbok, jika perbedaan itu sangat lebar, siapa yang harus disalahkan? Bukankah saya sendiri tidak pernah meminta dilahirkan dengan rupa seperti ini. Mengapa ini terjadi, Mbok?” pertanyaan Janthuk menghujam tepat di jantung si ibu.

Si ibu terdiam. Suasana seketika hening.

“Ini sudah kersaning Gusti Allah, Le. Terima saja..” datar saja jawaban si ibu.

“Tidak bisa, Mbok. Saya tidak terima diciptakan seperti ini oleh Tuhan. Saya harus protes. Tuhan tidak fair play..”

“Oalah, Le. Sadar, yo..”

“Tidak bisa! Saya harus mencari Tuhan untuk menanyakan hal ini!”

“Ojo dumeh kowe, Le. Kamu jangan macam-macam. Jika Tuhan murka, siapa yang mau menolong kamu?”

“Tidak bisa! Tuhan tidak fair play!”

“Lalu, jika kamu anggap Gusti Allah tidak adil, mau ke mana kamu protes?”

“Ya.. ke Tuhan.”

“Tapi, di mana kamu bisa menemui-Nya?”

“Nah, itulah yang ingin saya tanyakan kepada Simbok. Di mana Tuhan?”

Seketika kepala si ibu dipenuhi kunang-kunang yang hilir mudik berputar tak henti. Pusing benar si ibu ketika alamat Tuhan ditanyakan anaknya. Seingatnya, Tuhan tidak pernah terdaftar dalam lembaran lontar yang tersimpan sebagai arsip di kantor Ki Kuwu. Di dusun ini saja tak ada satupun penduduk bernama Tuhan. Teman-temannya semasa kecil pun tak ada yang bernama Tuhan. Entah di kampung lain. Otak si ibu tiba-tiba lelah memikirkan itu semua.

“Simbok tidak tahu, Le. Ibu pun tidak pernah bertemu dengan-Nya.”

“Jadi, saya harus mencarinya ke mana?”

“Coba kamu tanyakan ke Kyai Bodronoyo atau Habib Rizieq atau Gus Dur atau Amien Rais atau mungkin saja Raden Susilo Bambang Yudhoyono. Barangkali mereka pernah bertemu dengan Tuhan di kampung lain.”

“Baik, Mbok. Kalau begitu saya pamit untuk mencari Tuhan. Doakan agar protes saya ini tersampaikan dan Tuhan mau bertindak fair play..”

“Iya, Le. Si Mbok doakan.”


***


Hari masih siang saat pelepah kelapa kering jatuh menimpa pohon ketela yang ditanam sembarang di tepi jalan setapak. Jatuh pelepah kering itu berdebam seolah-olah pohon kelapa itu melampiaskan emosinya karena jatah air yang diterimanya diserobot pohon ketela. Lagi pula, bukankah pohon ketela seharunya ditanam di ladang bersama sekelompok pohon ketela lainnya? Ah, iseng benar manusia yang menanam pohon ketela itu.

Tanah di jalan setapak melepuh, mengeluarkan asap tipis yang hampir tidak terlihat. Hanya uapnya saja yang sangat terasa mengeringkan kulit siapapun yang melintasi jalan setapak itu. Dan daun-daun lamtorogung turut merasakan panasnya hari dipanggang matahari. Dalam waktu yang tak lama, daun-daun hijau lamtorogung berubah menguning. Sementara yang berwarna kuning secepatnya mengering untuk kemudian jatuh perlahan, terjerembab berserakan menjadi ornamen tanah kecoklatan.

“Assalamu’alaikum, Kyai,” Janthuk menyapa sosok lelaki yang tidak begitu renta di ujung sebelah kanan jalan setapak.

“Wa’alaikumussalam.”

Lelaki setengah tua yang disebut kyai itu menjawab penuh kesopanan. Siapapun pasti mengenalnya sebagai sosok kyai meski sebelumnya tak pernah bersua. Dengan tasbih yang terus diputar di antara jemari dan gamis putih panjang yang dikenakannya, siapapun akan mengenalnya. Terlebih lagi sosok kyai ini juga berpakaian lengkap dengan udeng-udeng yang menghiasi kepalanya dan sorban hijau yang menjuntai hampir menyentuh tanah. Penampilannya persis wali songo atau habib-habib yang bermarkas di Petamburan.

“Kyai, saya ada keperluan mendesak dengan Tuhan. Apakah Kyai mengenal-Nya?”

“Insya Allah saya mengenal-Nya. Allah adalah pencipta semesta alam ini. Dialah yang Maha Kuasa, Maha Rahman, dan Maha Rahim.”

“Kalau itu saya tahu, Kyai. Tapi, apakah Kyai dapat menunjukkan di mana alamat Tuhan? Saya benar-benar memiliki keperluan mendesak yang harus saya sampaikan sendiri kepada-Nya!”

Kyai bersorban hijau itu terdiam. Yang ia tahu Tuhan itu bersemayam di Arsy. Tapi apakah ia musti memberikan alamat Arsy itu kepada anak muda jelek ini? Sementara ia sendiri pun tidak pernah berkunjung ke Arsy. Ah, hati kyai itu menjadi ragu. Ia tidak ingin memberikan alamat yang ia sendiri pun tidak pernah mengetahuinya.

Ataukah Baitullah? Bukankah Baitullah itu merupakan Rumah Allah? Tapi..?

Hati kyai kembali ragu. Telah lima belas kali ia mengunjungi Baitullah untuk berhaji dan telah tiga puluh kali ia berumroh untuk menghiba di Rumah Allah. Tapi, ia sendiri belum pernah menemui Allah di tempat itu. Ah, hati kyai itu menjadi tambah ragu. Ia tidak ingin memberikan alamat yang ia sendiri pun tidak pernah bertemu dengan tuan rumahnya. Ia sendiri tidak yakin benar, apakah ia benar-benar mengenal Tuhannya.

“Kyai..” Janthuk mencoba menyadarkan lamunan Sang Kyai.

“Oh... anak muda, sejujurnya saya sendiri belum pernah bertemu dengan Tuhan. Saya tidak mengetahui secara pasti di mana alamatnya.”

“Bukankah Anda seorang Kyai? Anda tentu lebih menguasai ilmu agama dibanding orang kebanyakan. Anda tentu mengenal Tuhan..”

“Oh, bukan begitu. Saya hanya mengerjakan apa yang telah digariskan sebagai kewajiban. Apapun yang diperintahkan Allah pasti saya lakukan, adapun yang terlarang pasti saya hindari.”

“Bagaimana mungkin? Kyai sendiri tidak mengenal siapa yang memerintahkan kewajiban-kewajiban itu? Apakah Kyai membeli kucing dalam karung?”

Kyai kembali terdiam. Baru kali ini ia mendapat serangan sangat hebat. Selama 35 tahun memimpin pesantren tak satupun santrinya pernah bertanya seperti ini. Tiba-tiba saja ia tersadar betapa dangkalnya ilmu yang ia miliki. Hampir seluruh hidupnya habis untuk menggeluti ilmu agama. Sampai-sampai ia memahami betul tafsir Alquran dan mampu menguak kandungan Alhadits. Kyai benar-benar tersadar bahwa selama ini ia terjebak oleh rutinitas keagamaan yang ia sendiri kurang paham tentang perwujudan sesembahannya.

Miris benar hatinya. Bertahun-tahun ia gigih memperjuangkan nilai-nilai yang dianggapnya benar berasal dari Allah dan Nabi Muhammad SAW. Bertahun-tahun pula ia berbantah-bantahan tentang perihal bid’ah dengan kyai-kyai yang berseberangan dengannya. Ia tak sekadar mencaci bahkan mencap siapapun yang berseberangan dengannya sebagai kafir.

Kini, seorang anak muda menyibak tirai kebodohannya. Kyai tersadar bahwa selama ini ia sosok egois yang tidak mengerti apa-apa!

“Baiklah, Kyai. Kalau begiatu saya pamit meneruskan perjalanan untuk mencari Tuhan.”

“Silakan, Nak. Sampaikan salam kepada-Nya dan katakan pula bahwa saya siap jika sewaktu-waktu dipanggil menghadap-Nya untuk masuk surga.”

“Baik, Kyai. Assalamu’alaikum!”

“Wa’alaikumussalam.”


***

Pegal benar badan Janthuk setelah berhari-hari berjalan menyusuri arah timur mencari Tuhan. Jika dihitung, telah dua puluh satu hari Janthuk menghentakkan kakinya mencari alamat Tuhan. Setiap orang yang ditemui selalu ditanyakan kepadanya di mana alamat Tuhan. Pun ketika Janthuk menemukan pesantren, masjid, mushalla, atau madrasah yang diyakininya berpenghuni orang-orang alim. Hasilnya? Nihil. Tak satupun orang-orang yang ditanyai mengenal Tuhan dan mengetahui alamatnya. Sulit benar mencari Tuhan dan alamat-Nya.

“Selamat sore, Pak.” Janthuk menyapa lelaki tegap bertato naga yang tengah menyantap daging bebek bakar.

“Sore,” singkat saja jawabannya.

“Pak, apakah Anda mengenal Tuhan? Saya ingin bertemu dengan-Nya. Ada keperluan mendesak yang mengharuskan saya bertemu langsung dengan-Nya. Anda tahu di mana tempat tinggal-Nya?”

Berguncang tanah yang dipijak Janthuk ketika lelaki bertato naga itu terbahak menggelegar. Sebagian daging yang berada di mulutnya berloncatan keluar karena lebarnya ukuran mulut lelaki bertato naga itu saat terbahak. Ia terpingkal-pingkal, seolah baru saja melihat bualan Tukul di acara Empat Mata.

“Tuhan? Siapa Tuhan? Saya tidak pernah peduli siapa Tuhan. Yang saya tahu, saya adalah kepala perampok penguasa daerah ini. Bagi saya, Tuhan hanyalah pepesan kosong yang banyak menipu banyak orang. Hei, anak muda! Jadilah dirimu sendiri! Jangan pernah mencari Tuhan karena Dia tidak akan pernah kau temui atau menemuimu!”

“Tapi.., ada persolan mendesak yang harus saya tanyakan kepada-Nya.”

“Persoalan apa? Selesaikan sendiri. Jangan pernah menghiba kepada-Nya!”

“Baik, baiklah. Tapi, tolong tunjukkan saja kepada saya di mana alamat Tuhan!”

Lelaki bertato naga itu terdiam. Ada sesuatu yang mengganjalnya. Bukan, bukan tulang bebek yang mengganjal tenggorokannya. Tapi ada sesuatu yang benar-benar mengganjal hatinya. Tampaknya, lelaki bertato naga itu sebenarnya telah sejak lama mencari Tuhan, cuma dia tidak tahu harus ke mana mencari-Nya. Dia sebenarnya penasaran dengan Tuhan, meski rasa ketidakpedulian lebih menguasai jiwanya.

“Saya tidak tahu. Coba kamu berjalan terus ke timur. Konon di sana ada Rumah Tuhan yang sering ditemui orang banyak.”

“Baik, terima kasih..”

“O, iya. Sampaikan salam kepada-Nya dan katakan bahwa saya siap bertemu dengan-Nya meski di neraka sekalipun. He, heh, heh...”


***


Kali ini rasa penat benar-benar menguasai jiwa Janthuk. Begitu pula letih dan pegal yang menggerumuti tulang belulang di badannya. Janthuk kelelahan. Telah genap tiga puluh hari ia berjalan menjalani misinya. Tidak ada titik terang misinya akan berakhir.

Di tengah keletihan yang sangat, hatinya melonjak girang ketika di depannya terlihat sungai kecil yang dialiri air bening. Badan Janthuk segera meronta, kakinya seketika melompat mengejar kebahagiaan di depan mata. Aliran air itu diyakininya mampu menghilangkan kelelahan sekaligus melenyapkan dahaga yang mengeringkan tenggorokan.

“Selamat pagi, Nek,” sapa Janthuk ketika bertemu seorang nenek yang tengah mencuci beras di pinggir sungai kecil itu.

“Pagi, Nak. Kamu bukan penduduk sini, kan?”

“Bukan, Nek. Saya Janthuk yang sedang mencari alamat Tuhan. Apakah nenek pernah bertemu dengan-Nya? Di mana alamat-Nya?”

Si nenek terdiam.

Diam si nenek bukan diam karena tidak mengerti. Diam si nenek adalah emas yang kemilau karena keluasan ilmu yang dimilikinya. Si nenek adalah mutiara yang kedalaman jiwanya bening, lebih bening dari apapun. Meski bentuk rupa mutiara adalah hitam, namun ‘isinya’ penuh kesucian. Jelas betul perbedaan antara jasad dan isi, antara bathil dan haq.

Si nenek hanyalah tamsil betapa manusia sering terkecoh oleh bentuk, rupa, perwujudan. Manusia kerap melihat sebuah hal hanya dari satu sisi, tidak dari sisi lainnya. Manusia hanya lebih suka melihat yang kasat mata, tapi tidak dari substansinya. Inilah kebodohan yang memang menjadi trademark manusia seutuhnya.

“Nak, kamu benar-benar ingin bertemu Tuhan?” tanya si nenek memastikan.

“Benar, Nek. Tolong tunjukkan di mana Dia bisa saya temui?”

“Baiklah. Saya melihat kesungguhan yang luar biasa dari dirimu. Mudah-mudahan Gusti Allah mendengar kebulatan niatmu.”

“Amin. Tapi di mana Dia?”

“Nak, naiklah ke dheling itu. Niscaya kamu dapat menemui Tuhan dipucuk dheling,” si nenek menunjukkan dheling (pohon bambu) yang tak jauh dari tempatnya mencuci.

“Dheling? Dengan apa saya bisa menaikinya, Nek?”

“Terserah dirimu. Kalau kamu benar-benar berniat menemui-Nya, pasti kamu bisa.”

Si nenek beranjak dari tempatnya. Sementara Janthuk harus terdiam sambil memikirkan cara yang cepat menaiki dheling agar segera menemui Tuhan. Dheling yang dimaksud si nenek, sejatinya, adalah kiasan. Dalam bahasa Jawa, dheling yag dimaksud bermakna kandhele eling-eling, tebalnya iman. Janthuk benar-benar percaya bahwa Tuhan mampu ditemuinya.

Namun, Janthuk bukanlah anak sekolahan yang setiap hari belajar memecahkan masalah dengan teori-teori. Di sampingnya pun tidak ada seorang profesor, dosen, atau ustadz yang bisa dijadikan tumpuan pertanyaan. Lagi pula Janthuk tak yakin benar apakah mereka mampu memberinya solusi. Sejumlah orang yang ditemuinya di sepanjang jalan saja tidak ada yang tahu cara menemui Tuhan.

Akhirnya, Janthuk tak lagi mampu berpikir. Namun, Janthuk tidak mau diam. Tekadnya yang bulat untuk ‘mendemo’ Tuhan harus dilakukan. Janthuk mulai memanjat dheling yang dianggapnya paling tinggi. Ia sangat yakin bahwa Tuhan berada di puncak yang paling tinggi. Tidak mungkin Tuhan bersemayam di dheling yang sedikit rendah. Pastilah yang paling tinggi.

Janthuk segera memanjat dengan sangat hati-hati. Baru sampai ruas bambu yang kedua, Janthuk terjatuh. Begitu pula ketika ia kembali memanjatnya untuk kali kedua, ia pun terjatuh. Janthuk tidak putus asa. Janthuk terus memanjat dheling meski berkali-kali ia terjatuh, meski badannya terbentur tanah keras dan batu-batu. Siang dan malam menjadi saksi betapa Janthuk benar-benar berupaya sangat keras mewujudkan keinginannya bertemu Tuhan.


***

Hari ini adalah yang kesebelas atau keempat puluh satu sejak Janthuk pergi dari rumahnya untuk mencari Tuhan. Sudah beribu kali Janthuk jatuh bangun memanjat dheling. Beberapa bagian badannya terdapat luka-luka, sebagian kering dan sebagian lainnya masih basah. Janthuk adalah petarung sejati yang tak kenal lelah dan tak pernah mengeluh meski beribu kali usahanya gagal. Janthuk sangat yakin jika Tuhan benar-benar dapat ditemuinya.

Dan, benar saja. Usaha Janthuk tidaklah sia-sia. Di tengah malam saat bulan purnama menerangi kegelapan, Janthuk telah mencapai ruas dheling paling tinggi. Janthuk benar-benar berada di pucuk dheling yang menjulang. Di situlah Janthuk, untuk pertama kali, melihat Tuhan. Segala keletihan raga, kepenatan jiwa, luka-luka yang berserakan, seolah sirna seketika. Janthuk benar-benar bersuka ria.

“Benarkan Engkau Tuhan pencipta langit, bumi, dan segala isinya?” Janthuk langsung nyerocos mengajukan pertanyaan pertamanya. Ia tidak ingin setiap waktu yang dilaluinya bersama Tuhan hilang tanpa makna.

“Benar,” Tuhan menjawab.

“Oh, sungguh senangnya hati saya. Tuhan, langsung to the point aja, ya..”

“Silakan,”

“Kenapa Engkau ciptakan saya dengan keadaan seperti ini? Tubuh pendek, kulit legam, dan wajah yang menyeramkan. Berbeda sekali dengan teman-teman saya Anjasmara, Ariel Peter Pan, Thomas Djorghi, atau Raden Tukul Arwana. Engkau juga menciptakan saya sangat berbeda dengan teman-teman di sebelah kampung, seperti Van Damme, Nicolas Cage, Alessandro Del Piero, Trezeguet, David Beckham, Steven Gerard, atau James Bond. Mereka orang-orang yang sangat ‘enak’ dipandang dan digilai banyak wanita. Engkau juga tidak menciptakan saya dalam keadaan pintar, seperti Gus Dur, Amien Rais, Habib Rizieq, Thomas Alfa Edison, James Watt, atau B.J. Habibie. Kenapa? Bahkan untuk mencintai Ndoro Larasati saja saya tidak berhak. Kenapa Engkau tidak fair play, Tuhan?”

Protes yang dilancarkan Janthuk, sesungguhnya jauh dari kesan marah apalagi dikuasai amarah. Janthuk menangis dengan wajah yang tertunduk. Janthuk malu, membiarkan mulutnya mengeluarkan kata-kata itu. Tapi, kata-kata itu musti terucap agar tanda tanya besar yang ada di otaknya mendapatkan jawaban kebenaran.

“Janthuk, sesungguhnya kamu adalah hamba pilihan-Ku. Tahukah kamu, jika Aku telah menetapkan seseorang sebagai hamba pilihan-Ku, maka Aku akan mengujinya. Jika ia bersabar maka Aku benar-benar memilihnya. Dan jika ia ridha maka niscaya Aku akan mengutamakannya. Ikhlaslah atas apa yang telah Aku takdirkan kepadamu, Janthuk.

Kesabaran yang kamu miliki atas apa yang terjadi dalam setiap detik kehidupanmu, itupun menjadi perhatian-Ku. Ketika orang-orang lebih senang mengejekmu, kamu malah rajin bersyukur atas pemberian-Ku. Lidahmu pun tak pernah kering memuji-Ku setiap orang-orang menertawakanmu. Kamu tidak mendendam atas perbuatan mereka, bahkan mendoakan mereka. Ketahuilah Janthuk, sabar adalah sifat utama. Sabar atas apa yang kamu benci, di dalamnya terdapat banyak keutamaan.

Janthuk, meski Kuciptakan kamu dalam keadaan rupa seperti itu, namun kamu memiliki hati yang bersih. Sesungguhnya Aku tidak pernah melihat seseorang dari rupa, pakaian, atau identitas tertentu. Tapi yang Aku perhatikan adalah hati mereka, apakah bersih dan selalu mengingatku ataukah tidak. Begitu pula orang-orang yang mengaku dirinya dekat dengan-Ku, belum tentu Aku pastikan dia masuk ke dalam surga-Ku. Banyak di antara mereka yang merasa pintar dan benar, tetapi sebenarnya mereka congkak dengan menciderai hati banyak orang.

Aku senang atas apa yang telah kamu perjuangkan untuk menemui-Ku. Selama 41 hari ini kamu tidak berputus asa, meski beban yang dipikul jiwa dan ragamu begitu berat. Kamu istiqamah atas niat untuk bersua dengan-Ku. Kini, bersiaplah menerima kenikmatan yang sebenarnya, yang tidak setiap orang mendapatkannya. Bersyukurlah, Janthuk. Protesmu telah mengantarkanmu ke haribaan-Ku.

Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam surga-Ku.”

Mulut Janthuk terkatup. Hatinya berdesir dengan melamatkan Takbir; ‘Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar..’, terus, berulang-ulang. Janthuk tidak menyadari dirinya kini berada di dalam surga yang dijanjikan Tuhan. Saat Janthuk memberanikan diri untuk membuka mata, di sekelilingnya terlihat pemandangan yang sangat indah. Terlebih lagi, puluhan bidadari memutari dirinya mengajak bersenda gurau.


***

“Mang, bangun. Sudah sampai Stasiun Bogor. Habis!”

Lamat-lamat terdengar suara seseorang. Mang Endut yang sejak tadi tertidur masih tetap terbuai dengan mimpinya. Kisah perjalanan Janthuk yang terpampang di televisi mimpinya masih terus berputar. Apalagi episode kali ini memerlihatkan puluhan bidadari yang tengah bermain-main dengan Janthuk di dalam surga. Oh, betapa cantiknya para bidadari itu. Oh, betapa bahagianya Janthuk. Oh...

“Mang, bangun euy. Sudah habis, nih!”

“Mang, mang, kebluk, nya?”

Seperti Janthuk, Mang Endut merasakan kedua tangannya ditarik-tarik. Sejenak, Mang Endut merasakan nikmatnya puluhan bidadari berebut tanganya. Dengan tertawa, puluhan bidadari itu saling tarik-menarik, memperebutkan dirinya.

“Mang! Ayo dong, Mang. Bangun!”

“Tau, nih. Kita cium aja, Yuk!”

Mang Endut terbangun, persis sebelum kedua orang itu berhasil menciumya.

“Oaah.. Eh, di mana saya? Siapa kalian? Jangan macam-macam, ya..” Mang Endut segera terbangun. Betapa kaget dirinya, dia telah dikelilingi dua ‘wanita jejadian’ yang berpakaian menor tak karuan. Tanpa berpikir panjang lagi, Mang Endut segera meninggalkan tempat itu dengan perasaaan bercampur aduk.

Sungguh, Mang Endut senang jika mengingat kembali peristiwa yang terpampang di televisi mimpinya. Namun, Mang Endut akan bergidik jika mengingat dua ‘wanita jejadian’ itu. Mang Endut tak habis pikir, bagaimana jika keduanya berhasil menodai dirinya?

Ah, Mang Endut. Terkadang dirinya kege-eran. Seolah-olah dirinya merupakan manusia paling laku di dunia.


Tidak ada komentar: