Menumpang Hidup Pada Rezeki Anak

Banyak anak, banyak rejeki. Istilah ini sudah berlangsung begitu lama dalam tradisi masyarakat kita. Namun, apakah benar bahwa banyak anak akan membawa begitu banyak rejeki? Budi Dharmawan dan Yoyoh Yusroh mencoba menepis anggapan itu dengan memberikan contoh yang sebenarnya.

*****

“Dan orang orang yang berkata: “Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati, dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al-Furqan: 74)

Amir bin Syuaib dari ayahnya dan dari kakeknya menerangkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Perintahkanlah anak-anakmu mengerjakan salat ketika masih berusia tujuh tahun. Dan pukullah mereka karena meninggalkan salat bila berumur sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka (antara laki-laki dan perempuan)." (HR. Abu Daud)

*****

Di kelilingi banyak anak dalam rumah tangga, rupanya, menjadi impian Budi dan Yoyoh sejak keduanya bersanding di pelaminan. Derai tawa diselingi canda dengan si mungil begitu menggoda pikiran keduanya. Keinginan hati untuk memiliki banyak anak pun telah dipancangkan sejak awal. Kini, setelah 20 tahun mengarungi bahtera rumah tangga, keduanya dikaruniai 13 orang anak; Ahmad Umar Al-Faruq, A’izza Jundana, Asma Karimah, Huda Robbani, Sholahuddin Al-Ayyubi, Ja’far Ath-Thoyyar, Salma Salimah, Muhammad Ayyasy, Walid Ghozin, Adil Gholib, Abdulloh Aminuddin, Helma Hamimah, dan Rahma Rahimah.

Bagi Budi yang kini menjabat staf ahli Menteri Pemuda dan Olah Raga RI, memiliki banyak anak adalah sebuah cara mengikuti sunah Rasulullah SAW. "Bukankah Rasulullah SAW pun memiliki banyak anak?" pikirnya. Apalagi saat menikah, Budi dan Yoyoh adalah pasangan muda dan subur sehingga kemungkinan untuk memiliki anak dapat segera direalisasikan. "Kami berdua juga suka sama anak-anak," katanya.

Meski lahir di Bandung, Budi mengaku dibesarkan dalam lingkungan Jawa yang cukup kuat; Bapaknya asli Salatiga dan ibunya berasal dari Solo, Jawa Tengah. Istilah banyak anak, banyak rejeki pun telah dikenalnya sejak kecil. Namun, istilah tersebut sangat tidak diyakininya. Budi hanya memiliki keyakinan bahwa setiap anak yang terlahir membawa rejekinya masing-masing. Keyakinan inilah yang mendasari dirinya untuk tidak takut memiliki banyak anak. Ia pun yakin bahwa Allah Ta'ala mengurangi rejekinya adalah semata-mata karena dosa-dosa yang pernah dibuatnya. Tapi dirinya tidak yakin jika Allah Ta'ala tidak memberikan rejeki untuk anak-anaknya, karena mereka adalah fitrah, belum memiliki dosa.

Budi mengaku bersyukur karena sampai saat ini Allah Ta'ala masih memberikan rejeki yang berlimpah untuknya. "Bisa jadi ini sebenarnya adalah rejeki yang diberikan Allah Ta'ala untuk anak-anak saya," katanya. Kalau hal itu benar, lanjutnya, berarti saat ini, dirinya tengah menumpang hidup kepada anak-anaknya.

Meski demikian, saat dirinya telah memiliki tujuh orang anak, sempat terpikir dalam benak Budi untuk tidak menambah anak lagi. Namun, ternyata Yoyoh menghendaki untuk tidak melahirkan lagi setelah usia 42 tahun. Rencananya, saat usia Yoyoh menginjak usia 45, ia akan melanjutkan pendidikan ke pasca sarjana. Yoyoh yang kini menjabat anggota DPR RI tengah menggagas sebuah rancangan undang-undang yang mengatur bahwa jumlah anak adalah hak asasi manusia. Jadi, peraturan yang selama ini mengatakan bahwa pasangan suami istri hanya boleh memiliki dua anak diharapkan tidak lagi berkembang.

7 Aspek Pendidikan

"Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan baru" (QS. At-Tahrim:6). Ayat ini dipahami benar oleh Budi dan Yoyoh dalam mengarungi bahtera rumah tangga agar diridloi Allah SWT. Begitu pula dalam memberikan pendidikan kepada ketiga belas anaknya.

Dalam mendidik anak-anaknya, Budi dan Yoyoh memiliki tujuh aspek yang harus dilakukan, yaitu Tarbiyah Imaniyah (Pendidikan Keimanan), Tarbiyah Khuluqiyah (Pendidikan Akhlaq), Tarbiyah ‘Aqliyah (Pendidikan Akal), Tarbiyah Nafsiyah (Pendidikan Jiwa), Tarbiyah Ijtima’iyah (Pendidikan Sosial), Tarbiyah Jismiyah (Pendidikan Jasmani), dan Tarbiyah Jinsiyah (Pendidikan Seksual).

Untuk menerapkan ketujuh aspek tersebut, menurut Budi, harus disiapkan lima buah sarana, yaitu adanya keteladanan, pembiasaan, pengawasan, nasihat, dan adanya konsekuensi atau hukuman. Kelima sarana tersebut, sambung Budi, harus dilakukan secara berurutan, tidak boleh dibalik.

Keteladanan, sebagai sarana pertama, harus dilakukan orang tua dalam keseharian. Sebagai contoh, mayoritas anak-anaknya lebih menyukai membaca Alquran dan bacaan di bidang psikologi disebabkan mereka sering melihat Budi yang sering membaca buku-buku psikologi, sementara Yoyoh membaca Alquran dan kitab-kitab kuning, kitab-kitab yang biasa digunakan di pesantren salaf (tradisional).

Sejak kecil, anak-anak mereka sudah diberikan sejumlah tanggung jawab agar memiliki kepercayaan diri untuk hidup mandiri. Begitu pula dalam menciptakan rasa empati kepada seluruh anggota keluarga. Anak pertama diberikan tugas untuk membimbing dan memperhatikan anak keenam. Sementara anak kedua memperhatikan anak ketujuh, anak ketiga untuk anak kedelapan, dan seterusnya.

Sementara untuk menentukan sebuah kebijakan yang harus dipatuhi seluruh anggota, Budi selalu mengajak anak-anaknya turut dalam rapat keluarga. Dalam rapat tersebut, tak jarang bentuk konsekuensi atau hukuman disosialisasikan kepada seluruh anggota keluarga. Dari situ, seluruh anggota keluarga akan mengetahui konsekuensi atau hukuman apa yang akan diterimanya jika melakukan sesuatu.

Dalam setiap rapat keluarga tersebut, Budi selalu mengatakan bahwa kita ingin bersama-sama memasuki pintu surga. Untuk dapat memasukinya, setiap anggota harus melakukan tiga hal; benar, pintar, dan tegar. “Kalau kita melalaikan shalat berarti kita tidak benar. Kalau tidak belajar berarti tidak pintar, dan kalau tidak rajin memperhatikan kesehatan berarti tidak segar,” tegasnya.

Untuk anak-anaknya yang tidak melakukan sesuatu dengan benar, Budi lebih menekankan pemberian konsekuensi dibanding hukuman. Pemberian konsekuensi ini dilakukan sejak anak-anak masih kecil. Sebagai contoh, uang jajan sekolah dibagikan selepas salat subuh berjamaah. Bagi anak-anaknya yang tidak mengikuti salat subuh berjamaah, maka uang jajan pun tak mereka dapatkan.

Sebagai sarjana agama dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Yoyoh Yusroh memiliki peranan yang sangat dominan dalam pendidikan keislaman. Membaca Alquran mejadi suatu kebiasaannya dalam setiap saat. Tak heran jika penggiat sebuah partai Islam ini telah hafal Alquran.

Saat mengandung, kebiasaan itu kerap bertambah. Begitu pula saat menimang anak-anaknya menjelang tidur, Yoyoh tak pernah lepas membaca Alquran. Rupanya, ketekunan Yoyoh membaca Alquran menular kepada semua anaknya. Kini, minimal 5 juz ayat Alquran dapat dihafal semua anaknya. Bahkan Salma Salimah, anak kedelapan yang masih berusia 9 tahun, dapat menghafal sebanyak 17 juz.

Kecerdasan anak-anak Budi dan Yoyoh, ternyata, tak hanya di bidang keislaman. Mereka pun sukses di bidang ilmu pengetahuan umum. Tiga orang anak saat ini tercatat sebagai mahasiswa di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta. Bahkan anak ketiganya merupakan mahasiswa termuda kedua, karena pada saat masuk ia masih berumur 16 tahun.

Menikah Muda

Bingkai keluarga Islami yang hendak dibangun Budi dan Yoyoh betul-betul dimulai dari awal pertemuan mereka. Tidak seperti anak-anak remaja lainnya, Budi dan Yoyoh tidak pernah merasakan asyik masyuk berpacaran. Sebelum menikah, bahkan keduanya belum pernah saling kenal.

Saat menjadi mahasiswa, Budi yang mulai menggali kajian keislaman memahami betul bahayanya pergaulan dengan lawan jenis. Sejak itulah dirinya memutuskan untuk segera menikah di usia muda. Lewat seorang teman, Budi meminta dicarikan calon istri dengan kriteria pandai di bidang agama, memiliki hafalan Alquran yang banyak, dan memahami bahasa arab.

Kriteria tersebut ia tetapkan dengan harapan anak-anaknya kelak memiliki ibu sekaligus guru yang membimbing dalam rumah tangga. "Dalam benak saya, anak-anak nantinya akan belajar bahasa arab dari ibunya dan bahasa inggris dari saya," kisah Budi yang mengenyam pendidikan di Universitas Indonesia.

Bak gayung bersambut, Budi tak membutuhkan waktu lama untuk berkenalan dengan Yoyoh lewat seorang teman. Dengan penuh kebulatan tekad, perkenalan Budi dengan Yoyoh hanya berlangsung dua hari sebelum kemudian Budi melamarnya. Pihak keluarga yang mengetahui kebulatan tekadnya dengan senang hati memberikan dukungan penuh kepada Budi. Ia pun menikah diusia ke-24 sementara Yoyoh berusia 23 tahun.

Kini, konsep menikah di usia muda pun hendak diterapkan Budi dan Yoyoh kepada anak-anaknya. Perkenalannya dengan pemikiran Abraham Matlow, seorang psikolog berkebangsaan Amerika, berpengaruh besar pada keputusannya itu. Menurut Budi, Abraham menginformasikan bahwa dirinya menikah di usia 20 tahun. "Kalau saja saya menikah lebih muda, maka saya akan lebih produktif," kata Budi menyitir ucapan Abraham yang telah menulis 150 buku.

Konsep itu dipercaya betul oleh Budi dan Yoyoh hingga ia menyarankan kepada anak pertamanya agar menikah di usia muda. "Kalau kamu sudah suka pada seseorang dan merasa sudah siap, menikahlah. Nanti kami akan melamarkannya untukmu," ucapan ini sering dikatakan Budi kepada anaknya.

Pernah, anaknya yang kedua, A’izza Jundana, saat masih SMA diketahui memiliki ketertarikan kepada seorang perempuan. Budi lalu menanyakan kesiapannya untuk menikah agar ia dapat segera melamar untuk anaknya. Dilihat dari kesiapannya mencari nafkah, menurut Budi, A'izza sebenarnya sudah mampu karena memiliki pekerjaan sebagai suplier komputer. A'izza pun dapat menjadi teknisi komputer yang telah memiliki pelanggan cukup banyak. Namun, karena merasa umurnya belum matang, akhirnya A’izza dengan tersipu malu menolaknya. Dengan penuh kasih sayang, Budi pun menyarankan agar A'izza berkonsentrasi pada pelajaran.

Model pendekatan seperti ini, menurut Budi, cukup baik untuk mengontrol perilaku anak saat naluri biologis secara fitrah mulai muncul. Hal ini diyakininya pula merupakan langkah awal agar anak tidak terjerumus pada kehidupan remaja yang berpikir bebas tentang pergaulan dengan lawan jenis.

Indahnya Sebuah Keluarga Besar:

1. SEJAK AWAL: Memberikan pendidikan sejak mengandung anak-anaknya adalah cermin kepedulian orang tua. Anak adalah investasi orang tua di dunia dan di akhirat kelak.

2. KETELADANAN: Perilaku anak akan bercermin pada apa yang diperbuat orang tua. Ibarat pepatah, buah jatuh tak jauh dari pohonnya, perilaku anak tentu tak berbeda dengan apa yang dilakukan ibu bapaknya. Biasakan santun dalam berucap, sopan dalam bertindak.

3. MEMBUKA PELUANG USAHA: Melibatkan anak dalam usaha yang digeluti orang tua adakalanya berdampak positif. Anak akan belajar bagaimana memahami dunia usaha, bagaimana cara mencari rizki. Tumbuhkan mentalitas sosok pekerja keras dalam tubuh anak agar tidak menjadi pemalas di kemudian hari.

4. MUSYAWARAH: Dalam menentukan kebijakan yang mesti dipatuhi seluruh anggota keluarga, musyawarah adalah hal yang tak boleh ditiadakan. Selain menciptakan sistem demokrasi, dalam musyawarah terjadi proses dialogis antara orang tua dan anak. Sebagai orang tua, konsep musyawarah adalah baik agar tidak berorientasi pada sikap otoriter. Begitu pula bagi anak yang akan menuangkan pikirannya secara bebas tentang apa yang diinginkannya.

5. KASIH SAYANG DAN EMPATI: Untuk sebuah keluarga besar, saling memberikan kasih sayang dan empati kepada antar anggota keluarga harus mendapat porsi cukup besar.

6. KONSEKUENSI DAN HUKUMAN: Penerapan konsekuensi dan hukuman adalah bagian dari metode pendidikan. Lewat konsekuensi dan hukuman, anak akan belajar memikirkan setiap tindak tanduk yang akan dilakukan.


(Disadur dari Majalah Taubah Edisi Desember 2005, Imam Fathurrohman)

Tidak ada komentar: