Memanen Rahmat Menjelang Subuh


“Wahai Tuhan kami, terimalah (amalan) kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Wahai Tuhan kami, (jadikanlah) di antara anak-anak kami umat yang tunduk patuh pada Engkau dan tunjukkanlah pada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadah haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang,” (QS. Al-Baqarah: 127-128).

*****


Seperti biasa, kemacetan ibukota memuncak setiap Senin. Tak kecuali Senin pertengahan Februari lalu, saat TAUBAH berkesempatan melakukan silaturahim dengan Dr. Dewi Motik Pramono, Msi, di kediamannya yang asri di kawasan Jl. Surabaya, Jakarta Pusat. Hawa di kawasan sebelah Cikini itu begitu sejuk. Acara silaturahim nan santai itu pun semakin akrab saat teh hangat mulai terasa kenikmatannya.

Berbincang dengan Dewi Motik, demikian biasanya ibu cantik ini disapa, selalu ramai dan tak menjenuhkan. Ada saja celoteh cerdas yang menggambarkan keluasan pengetahuan pendiri Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (Iwapi) ini. Mulai dari obrolan ringan tentang taman di samping kolam renang di belakang rumah, hingga permasalahan keluarga dan wanita Indonesia saat ini.

Sebagai perempuan yang selalu bangga dengan posisi ibu rumah tangga, Dewi begitu fasih membagi pengalamannya mendidik anak-anak dan menjaga keharmonisan rumah tangganya. Kesan itu begitu dalam ketika ibu dari Moza Pramita Pramono dan Adimaz Prarezeki Indra Muda ini membeberkan sejumlah ‘rahasia’ keharmonisan keluarganya.

‘Rahasia-rahasia’ itu di antaranya muncul saat subuh. Ya, saat itulah keharmonisan keluarga Dewi berawal setiap harinya. Ada apa dengan subuh? Menurut istri dari Pramono Soekasno ini, ada beberapa hal yang ia temukan saat subuh. Pertama, saat subuh adalah pertama kali manusia dibukakan matanya setelah sebelumnya dimatikan oleh Allah. “Saya bilang kepada anak-anak bahwa setelah bangun tidur, biasakan membaca doa bangun tidur kemudian membaca hamdalah, syahadat, istigfar, Al-Fatihah, dan Al-Ikhlas sebanyak sebelas kali,” paparnya membagi resep.

Alasan yang kedua, subuh memberikan suasana kasih sayang yang luar biasa. “Peluk pasangan hidup kita sebagai tanda kasih sayang. Saat memeluk pasangan hidup inilah masing-masing aura kuat sekali. Kalau belum memiliki pasangan hidup, kita ucapkan banyak pujian kepada Allah SWT. Hal ini penting karena kita baru dihidupkan kembali setelah mati,” tambahnya.

Dalam keluarga Dewi, saat subuh memang selalu spesial. Setelah melakukan dua tahapan di atas, Dewi dan anak-anaknya selalu melaksanakan salat subuh berjamaah yang dipimpin oleh sang kepala keluarga. Ini adalah tradisi yang telah berlangsung lama sejak Dewi kanak-kanak. Dahulu, kenang Dewi, ibunya tak pernah bosan mengajak Dewi dan saudara-saudaranya melaksanakan salat subuh berjamaah.

Dalam memilih calon menantu pun, Dewi dan Pramono memiliki syarat mutlak. Mereka tidak mementingkan seberapa kaya calon menantu. Saat Moza akan menikah, Dewi dan Pramono hanya memberikan syarat agar calon suami Moza itu bisa menjadi ‘Imam’ dalam salat. Mereka tidak ingin melihat keluarga Moza nantinya melaksanakan salat secara terpisah (sendiri-sendiri). “Apapun itu, salat berjamaah lebih baik 27 kali di banding salat sendiri. Kalau belum bisa menjadi ‘Imam’, tolong jangan kawini dulu anak saya,” tegas Dewi.

Rahasia lainnya adalah komunikasi. Meski anak keduanya, Adimaz, saat ini tengah menimba ilmu di London, Inggris, Dewi selalu menyempatkan diri untuk menjaga komunikasi dengan Adimaz. “Biasanya dua minggu sekali. Sekarang ini kan serba mudah. Angkat telepon, langsung ngobrol,” ujar mantan none Jakarta ini.

Sedangkan komunikasi dengan Moza, Dewi melakukannya hampir setiap saat. Maklum, Moza dan Panya Siregar, suaminya, memiliki kesibukan di Jakarta. Apalagi, Dewi mengaku selalu kangen kepada cucunya, Malik.Arifin Siregar.

Bahkan untuk berkomunikasi, Dewi telah membiasakannya saat Moza dan Adimaz masih bayi. “Saya punya pandangan, jangan pernah menganggap anak yang tidur itu betul-betul terlelap. Biasakan menyapanya meski pun kita baru pulang larut malam. Peluk anak kita dan berikan doa saat mereka sedang tertidur, kemudian berikan kata-kata indah, betapa sayangnya kita kepada mereka,” tegasnya.



Rahasia Ya Sin

“Kalau musik Bethoven dan Mozart saja bisa dikatakan dapat memicu otak bayi di dalam kandungan, kenapa tidak dengan bacaan ayat-ayat suci Alquran?” Barisan kalimat ini begitu tegas dilontarkan Dewi yang kini juga aktif sebagai koordinator Aliansi Perempuan Untuk Pembangunan Berkelanjutan (APPB) bidang lingkungan hidup ini.

Sejak dulu, orang tua di negeri ini terbiasa menyanyikan lagu saat akan menidurkan anaknya. Kebiasaan ini, menurut Dewi, merupakan hal positif sebagai bagian dari proses pendidikan. Namun, lebih baik lagi jika dilakukan lebih dini, saat anak masih di dalam kandungan. Apalagi, yang diberikan adalah bacaan-bacaan mulia seperti Alquran dan shalawat.

Memberikan pendidikan kepada anak, menurut Dewi, merupakan keharusan bagi orang tua. Baginya, keluarga merupakan sekolah pertama bagi anak-anaknya, meski semua anaknya disekolahkan di sekolah islami. Sejak masih kecil, selain dibiasakan melaksanakan salat subuh berjamaah, Dewi pun menanamkan pentingnya menjaga salat kepada anak-anaknya. Sebab dengan menjaga salat, menurutnya, kehidupan anak-anaknya pun akan tertata rapi sesuai kaidah dalam Islam.

“Dalam mendidik anak, bagi saya, yang penting adalah agama. Apa pun bisa saja terjadi pada anak-anak kita, dan pelindung yang paling utama adalah agama. Bisa saja anak saya melakukan kesalahan. Namun, dengan memiliki pengetahuan agama yang benar, maka dia bisa secepatnya sadar dan menemukan solusinya,” paparnya.

Pendidikan agama yang telah ditanamkan Dewi kepada anak-anaknya sejak kecil, sudah lama terlihat hasilnya. Misalnya, ketika Moza dan Adimaz masih belajar sepatu roda, tak jarang mereka berhenti untuk salat saat adzan terdengar. Moza dan Adimaz memang dibiasakan membawa peralatan salat ke mana pun.

Hati Dewi pernah terharu bercampur bahagia saat menelepon Adimaz, beberapa waktu lalu. Adimaz minta dititipkan buku “Ya Sin” kepada temannya yang sedang berlibur di Jakarta. Buku “Ya Sin” yang pernah diberikan Dewi untuk Adimaz ternyata telah sobek di bagian cover-nya karena sering digunakan. “Mah, minta buku yang cover-nya tebal, ya...” pinta Adimaz di telepon.

Tentang buku “Ya Sin” ini, Dewi memang memiliki kesan tersendiri. Dewi sering berpesan kepada anak-anaknya bahwa obat pelipur lara yang paling mujarab adalah membaca Alquran. “Dan surat Ya Sin adalah jantung Alquran. Jadi sering-sering lah membaca Ya Sin agar hati kita selalu tenang,” kata Dewi memberikan nasihat.

Mengajak Anak Bergaul dengan Dhuafa

Sebagai sosok ibu rumah tangga dan wanita karir yang aktif dalam berbagai kegiatan usaha dan kemasyarakatan, tak jarang Dewi mengajak Moza dan Adimaz dalam kegiatannya. Pelbagai kegiatan sosial seperti menyantuni anak yatim, piatu, fakir, dan miskin yang dilakukan Dewi hampir pasti melibatkan kedua anaknya tersebut. Dewi memiliki moto, tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah.

Tampaknya, Dewi memang ingin memberikan pendidikan sosial kepada kedua anaknya. Salah satunya adalah menanamkan jiwa penyantun seperti meminta Moza dan Adimaz menyerahkan bantuan secara langsung, baik berupa barang atau uang recehan kepada kaum dhuafa. “Bagi kita yang sudah dewasa, mungkin, menjadi hal biasa. Tapi bagi anak-anak, hal tersebut menjadi sebuah metode pendidikan yang sangat berkesan,” jelas Dewi.

Nyatanya, pendidikan seperti itu betul-betul membekas bagi Moza dan Adimaz. Saat Malik, putra Moza dan Panya Siregar, berulang tahun kali pertama, Moza membawa Malik ke tempat anak-anak yatim piatu. Usia satu tahun Malik pun dirayakan dengan kegembiraan bersama anak-anak kurang beruntung itu. Tampaknya, Moza ingin menanamkan jiwa penyantun kepada anaknya.

Beberapa minggu lalu, saat Moza mengunjungi rekannya yang menjadi dokter di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), rasa kaget singgah di dadanya. Moza melihat para pasien yang hampir semuanya adalah kaum miskin. Kekagetannya bertambah saat melihat betapa kotornya lingkungan rumah sakit umum itu.

Dalam hatinya, Moza memiliki ide untuk memberikan sejumlah kupon bagi beberapa pasien. Kupon ini dapat ditukar dengan sejumlah uang yang secara langsung dapat diakses di bank. Rencananya, niat itu akan direalisasikan saat Malik berulang tahun kedua kalinya.

Management by Love

“Cinta itu ibarat tanaman. Dia perlu perhatian dan perawatan. Jika tidak, maka tanaman akan layu dan pelan-pelan mati. Untuk tanaman diperlukan air dan pupuk. Untuk cinta diperlukan perhatian dan kasih sayang. Tanpa perhatian dan kasih sayang mustahil cinta akan dapat terus tumbuh. Tanpa cinta, rumah tangga akan terasa hambar, bak sayur tanpa garam.”

Paragraf di atas merupakan sebagian kecil barisan kalimat indah yang tertera dalam “Management by Love, Membuat Suami dan Orang Lain Mencintai Kita”, sebuah karya Dewi Motik yang dirilis Juni tahun lalu. Dalam buku tersebut, Dewi memberikan inspirasi bagaimana menciptakan keharmonisan dalam rumah tangga. Senyatanya, isi buku tersebut adalah serpihan-serpihan kehidupan rumah tangga Dewi bersama Pramono setelah lebih dari 30 tahun mengarungi bahteranya.

Dewi menginginkan rumah tangganya terbingkai rasa cinta, baik cinta kepada Allah Ta’ala, keluarga, lingkungan, diri, dan profesi. Dengan mencintai Allah Ta’ala berarti mengerjakan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Dewi meyakini bahwa semua perintah Allah itu pasti baik dan benar. Oleh karena itu, kalau semua anggota keluarganya mencintai Allah, maka otomatis perilaku semua anggota keluarganya pun jauh dari hal yang buruk dan tercela.

Mencintai keluarga merupakan implementasi rasa cinta kepada hamba Allah yang paling dekat. Keluarga bisa berarti orang tua dan saudara-saudara, pasangan hidup dan anak-anak, mertua dan saudara-saudara pasangan. “Tanpa mereka, hidup kita tidak akan seperti ini. Dari keluarga, kita mendapatkan nilai-nilai luhur yang menjadi tuntutan kita dalam menjalani kehidupan. Dari keluarga pula kita mendapatkan curahan kasih sayang yang membuat kita tumbuh menjadi insan yang santun,” papar Dewi.

Begitu pula dengan lingkungan tempat manusia tinggal, sekolah, maupun bekerja. Dari lingkungan, manusia memperoleh tambahan nilai-nilai luhur yang semakin membentuknya menjadi pribadi yang mulia. “Adapun sebagai pekerja, kita harus bisa bekerja dengan sepenuh hati, yaitu dengan mencintai profesi kita. Seberat apa pun tugas kita, jika kita mencintai profesi itu, maka tugas tersebut akan terasa ringan,” tambahnya.

Dan yang tak kalah penting, menurut Dewi, adalah mencintai diri sendiri. Syaratnya adalah mengenali diri sendiri dengan baik. Banyak orang yang tak mengenali dirinya. Akibatnya, dia tidak mengetahui kelebihan dan kekurangannya. Padahal, dengan mengenali kekurangan diri, manusia akan termotivasi untuk belajar dan memperbaiki diri. Adapun dengan mengenali kelebihan diri, manusia akan bersyukur dan berusaha memeliharanya dengan baik.

Begitulah Dewi memaparkan ‘rahasia-rahasia’ keharmonisan keluarganya. Ia begitu yakin dengan kasih, sayang, dan cinta yang terpancar dari setiap anggota keluarganya, maka bahtera rumah tangga pun akan berjalan sesuai keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Tips:

Membangun Kerajaan Cinta Dalam Rumah Tangga

  1. Salat berjamaah: Salat merupakan representasi kehidupan sosial dalam rumah tangga. Di dalamnya ada seorang ‘Imam’ yang memimpin para makmum sebagai masyarakat yang siap mendukungnya. Dengan berjamaah, salat tidak hanya memiliki makna kesalehan individu, namun juga mencerminkan aktifitas sosial.
  2. Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah: Islam mengajarkan sikap dermawan kepada siapa pun. Saling tolong dalam hal kebaikan merupakan kunci keharmonisan dalam bermasyarakat. Maka, mendidik anak-anak agar menjadi seorang penyantun berarti mendidik anak-anak menjiwai Islam sesungguhnya.
  3. Komunikasi: Sampaikan setiap pesan atau pun perintah kepada anak dengan bahasa yang santun. Memori anak akan merekamnya hingga ia besar dan ia akan mempraktekannya kelak. Bukankah perkataan lebih tajam dibanding pedang?
  4. Ajarkan Cinta: Orangtua merupakan teladan bagi anak-anaknya. Mengajarkan rasa cinta dengan memberikan contoh perilaku kasih dan sayang kepada mereka dapat membentuk generasi rahmatan lil ‘alamin.
  5. Suami adalah Imam dalam Keluarga: Satu hal yang ditekankan Dewi Motik dalam menjaga keharmonisan rumah tangga, yaitu sikap manut-nya terhadap suami. Meski Dewi begitu dikenal sebagai wanita karir, namun menurutnya, kemandirian serta kematangannya sebagai wanita tak terlepas dari peran suami. “Bagaimana pun, suami adalah Imam dalam keluarga,” tegasnya.


(Disadur dari Majalah Taubah Edisi Maret 2006, Imam Fathurrohman)

Baca Selanjutnya......

Mencintai Rakyat A la Keluarga Pemimpin



“Sembahlah Allah dan janganlah kamu menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat, dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu,” (QS. An-Nisa: 36).

*****

Ibarat pepatah, buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Makna dari pepatah itu, tampaknya, sesuai benar dengan alur hidup keluarga besar H. Ismet Iskandar, Bupati Tangerang saat ini. Kiprah pria berkaca mata yang murah senyum ini begitu dikagumi masyarakat Kabupaten Tangerang. Tak hanya kiprah sang Bupati, namun apa yang dilakukan oleh seluruh anggota keluarganya pun mendapat simpati positif dari masyarakat.

Dalam pandangan sebagian besar masyarakat di kabupaten pinggiran Jakarta tersebut, keluarga sang Bupati tak cuma dikenal baik, tapi juga sangat dekat dengan meraka. Keluarga besar H. Ismet Iskandar tak akan segan berkumpul dengan pelbagai kalangan, baik pejabat hingga warga yang tinggal di kolong jembatan.

Tak berbeda dengan sang suami, Hj. Chandra Elia dikenal pula sebagai sosok perempuan yang gigih memperjuangkan kesejahteraan rakyat. Kesehariannya hampir dipadati jadual bertatap muka dengan masyarakat, hingga yang berada di daerah pelosok. “Ini adalah tekad dan amanah bagi kami. Sebagai orang yang dipercaya rakyat, maka kami pun harus memperhatikan kesejahteraan mereka,” katanya dengan nada serius.

Menjadi Ketua Umum Tim Penggerak PKK Kabupaten Tangerang menjadi salah satu alasan mengapa dirinya rela bersimbah keringat untuk menemui dan memberikan bantuan kepada warga. Alasan lainnya, menurut perempuan cantik berjilbab ini, karena dirinya adalah hamba Allah yang ingin selalu bermanfaat bagi sesamanya.

Sebagai putri asli Tangerang yang terlahir pada 23 Agustus 1949, Hj. Chandra Elia benar-benar mengeluarkan totalitasnya dalam membina dan mengembangkan sumber daya manusia di salah satu kabupaten di Propinsi Banten ini. Lebih dari separuh umurnya pun dihabiskan untuk memikirkan kemajuan dan kesejahteraan rakyat.

Tengok saja perjalanan karirnya yang pernah memangku sejumlah jabatan dan bersentuhan langsung dengan rakyat. Peraih pengelola 10 program pokok PKK se-Jawa Barat di tahun 1985 ini tercatat pernah menjadi anggota DPRD sejak 1992 hingga 2004. Tak heran jika penerima Manggala Karya Kencana dari BKKBN Pusat ini pun kini begitu aktif menyokong kiprah sang suami sebagai Bupati.

“Ibu (Hj. Chandra Elia) ini, mungkin termasuk segelintir keluarga pejabat yang sibuk memikirkan rakyat. Setiap hari, ada saja kesibukannya di sejumlah daerah untuk terjun langsung memberikan pengarahan dan bantuan kepada masyarakat,” papar Ibu Duroh, salah seorang pengurus PKK, mengisahkan. Karena aktifitas Hj. Chandra Elia yang begitu padat tersebut, Ibu Duroh dan para pengurus lainnya pun harus rela mengimbangi ritme sang ketua.

Aktifitas yang dilakukan keluarga besar ini tak melulu didasarkan pada jabatan politis yang tengah diemban H. Ismet Iskandar. Lebih dari itu, aksi sosial yang kerap dilakukan keluarga ini, jauh dari kesan politis. Bahkan, banyak kalangan masyarakat yang tak sadar saat mereka tengah dikunjungi salah seorang putra-putri sang bupati.

Menjadi Keluarga Inklusif

Penanaman nilai-nilai kemanusiaan memang menjadi standar pendidikan dalam keluarga besar H. Ismet Iskandar, di samping ketatnya pendidikan agama. Sejak kecil, Achmed Zaki Iskandar, Nunis Akmalia, Intan Nurul Hikmah, dan Achmed Zulfikar telah ditanamkan budaya disiplin untuk mempelajari ragam ilmu pengetahuan dan agama berikut aplikasinya.

Beragam ilmu pengetahuan yang didapat tak hanya melalui bangku sekolah, namun juga melalui guru-guru privat yang didatangkan ke rumah. Tak heran jika kempatnya terbiasa melafalkan bahasa inggris dalam keseharian dan menjadi siswa unggulan di masing-masing sekolahnya.

“Penanaman nilai-nilai keislaman tak hanya kami wujudkan dengan memberikan model pendidikan agama. Yang penting adalah bagaimana mereka mengaplikasikannya di masyarakat,” tutur Hj. Chandra Elia.

Ya, aplikasi kemampuan diri di masyarakat, tampaknya memang menjadi obsesi dan keharusan bagi keluarga ini. Sejak H. Ismet Iskandar menikahi Hj. Chandra Elia pada 4 Maret 1973 silam, obsesi tersebut dipancangkan kuat hingga diikuti putra dan putrinya kini. Keempat anaknya, saat ini, berkecimpung di sejumlah organisasi kemasyarakatan, di samping berwirausaha. “Mereka tak satupun yang tertarik menjadi pejabat, seperti ayahnya,” kata Hj. Chandra Elia dengan tersenyum.

Menjadi seorang abdi negara yang diemban H. Ismet Iskandar dan Hj. Chandra Elia menuai kisah tersendiri dalam perjalanan bahtera rumah tangga. Keduanya menanamkan kesederhanaan kepada anak-anaknya. Apalagi ketika Zaki dan Intan harus belajar ke negeri kanguru, Asutralia. Kondisi keuangan keluarga pegawai negeri sipil yang ‘pas-pasan’ menjadi alasan bagi keduanya untuk mengatur keuangan sepintar mungkin.

Kesederhanaan yang terdidik sejak dini, berimbas pada lingkungan pergaulan. Seperti kedua orang tuanya, keempatnya tak sedikit pun risih ketika harus masuk pada lingkungan yang berbeda, baik kalangan di lingkungan para pejabat, politisi, pengusaha, maupun rakyat jelata. “Bagi kami, keterbukaan bergaul dengan siapa pun menjadi salah satu kunci, agar kita tetap dekat dan selalu mencintai sesama,” tutur Hj. Chandra Elia berbagi resep. []

Inbox

Kaya Ide dan Murah Hati

Mengenal lebih dekat sosok Hj. Chandra Elia, kita tak lagi perlu sungkan dalam berbagi kata. Kebiasaannya bergaul dengan masyarakat luas, membuat suasana perbincangan menjadi lebih hangat, karena kita pun sesekali akan diajaknya tertawa.

Menjadi seorang pemimpin, membuatnya selalu kaya akan ide. Perkataannya yang selalu runut dan dibalut tata kalimat yang apik mencerminkan luasnya pengetahuan yang dimilikinya. Ada saja gagasan yang mencuat untuk dijadikan sebuah program. “Hal seperti ini bagi kami adalah biasa. Kami yang mendampingi beliau setiap hari selalu kagum akan ide-idenya yang brilian tentang kesejahteraan rakyat,” tutur Ibu Yoyoh, sekretaris TP PKK Kabupaten Tangerang turut menjelaskan.

Pemikiran Hj. Chandra Elia ini, menurut Yoyoh, mencerminkan totalitasnya dalam menjalankan amanah sekaligus mencerminkan kemurahan hatinya. “Selama saya bekerja di TP PKK mendampingi ketua-ketua sebelumnya, tak pernah ada yang seaktif beliau ini,” tambah Yoyoh tanpa bermaksud menyombongkan sang ketua.




(Disadur dari Majalah Taubah Edisi Juli 2006, Imam Fathurrohman)

Baca Selanjutnya......

Menempa Kesalehan Sosial dalam Keluarga

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Berbuat baiklah kepada kedua orangtua, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu.” (QS. An-Nisa: 36)

*****

Kesalehan pribadi merupakan cermin terciptanya kesalehan sosial. Degradasi moral yang dipertontonkan masyarakat Indonesia, baik di level bawah hingga atas, adalah implikasi nyata lemahnya kesalehan sosial. Tengok saja faktanya, ibu pertiwi menduduki posisi kedua setelah Swedia untuk urusan negara dengan kasus pornografi dan pornoaksi lewat lokalisasi, sinetron, film, hingga media yang mengeksploitasi kemesuman. Belum lagi fakta bahwa negara ini menjadi salah satu negara terkorup di dunia. Kemiskinan merajalela di mana-mana, kelaparan hingga ketimpangan sosial yang terpampang di setiap sudut desa dan kota.

Miris hati Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS saat melihat kenyataan yang menjadi cermin negara ini. Lebih miris lagi, Indonesia adalah negara dengan jumlah pemeluk Islam terbesar di dunia. Sering terlintas pelbagai pertanyaan dalam benaknya, ke mana salat, puasa, zakat, dan haji yang selama ini dilaksanakan umat Islam? Alangkah nihilnya nilai ibadah yang dilakukan dalam keseharian, sehingga tak memiliki dampak positif bagi diri dan lingkungan sekitar. Sementara jamaah-jamaah taklim dan dzikir tumbuh bak jamur di musim hujan. Apalagi pelaksanaan ibadah umrah dan haji mengalami peningkatan.

Sebagai mantan pejabat eksekutif, Rokhmin sering memperhatikan perilaku ibadah di kalangan para pejabat negara. Di antara mereka, menurutnya, banyak yang hanya melaksanakan salat Jumat saja dalam seminggunya. Hal itu lebih kentara lagi saat dirinya sering melakukan tugas ke daerah bersama sejumlah pejabat muslim. Dan yang lebih parah adalah budaya suap yang saat ini menjadi tren di kalangan mereka. ”Sebagian besar dari para pejabat, saat saya menjadi menteri, memiliki karakter mata duitan. Seolah-olah segala kebaikan itu dinilai dengan uang. Siapa pun yang ngasih uang, baru dianggap sahabat. Padahal, yang merusak negara itu kan mereka yang melakukan itu,” papar menteri di era Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri ini dengan geram.

Sekali waktu dirinya menemukan orang yang rajin salat, namun banyak di antara mereka yang berkelakuan tidak baik. Orang-orang seperti inilah yang kadang tidak dapat dimengerti olehnya. Bisa jadi, mungkin, mereka melaksanakan salat lima waktu dalam sehari, namun hubungannya dengan rekan kerja atau lingkungannya begitu buruk. “Lalu di mana hakikat salatnya?” suatu saat Rokhmin bertanya kepada anak-anaknya. “Mungkin salatnya hanya jungkal-jungkel saja, Pa,” jawab mereka.

Berbagai kenyataan yang terjadi di masyarakat, betul-betul sangat diperhatikan Rokhmin. Bahkan, tema-tema seperti itulah yang sering dijadikan bahan ulasan saat Rokhmin berkumpul selepas salat berjamaah dengan istri dan anak-anaknya. Inilah salah satu cara Rokhmin berdialog dan membincang keislaman agar lebih dekat dengan realita di masyarakat.

Dalam pandangannya, kesalehan pribadi (individual) yang terealisasi dalam bentuk ibadah mahdloh (wajib) harus tercermin dalam ibadah muamalah yang berhubungan langsung dengan antar sesama manusia dan lingkungan. “Itulah yang disebut kesalehan sosial. Seimbang antara hablumminallah dan hablumminannas,” urai Rokhmin. “Bukankah menurut para mufassir, Alquran memberikan pernyataan tentang ibadah muamalah sebanyak 70 persen dan ibadah mahdloh 30 persen? Kadang kita hanya ingat yang 30 persen itu saja,” tambahnya.

Mengasah Empati

Dalam mendekatkan konsep kesalehan sosial, tak jarang Rokhmin mengajak keempat anaknya; Sri Minawati, Muthia Ramdhini, Rahmania Kannesia, dan Sylvana Afiati mengunjungi daerah-daerah nelayan. Tujuannya tak lain agar mereka merasakan kehidupan saudara-saudaranya yang sama sekali berbeda dengan keadaan mereka, baik secara ekonomi maupun budaya. Sebagai ayah yang hanya memiliki anak-anak perempuan, Rokhmin merasa bersyukur dapat dengan mudah memberikan arahan.

Untuk berbusana muslimah sekalipun, Rokhmin tak perlu bersusah payah menyarankan. Anak pertamanya, Sri Minawati, yang kini menimba ilmu di Australia dengan keikhlasannya sendiri mengenakan busana muslimah. “Alhamdulillah, anak kedua kami, Muthia Ramdhini, yang kini kuliah di Universitas Padjadjaran, sebulan lalu memutuskan untuk konsisten mengenakan busana muslimah,” kata Ir. Pigoselpi Anas, sang ibu memberikan penjelasan.

Keseriusan Rokhmin dalam membimbing anak-anak dan istrinya terlihat pula saat dirinya memiliki waktu luang. Kesibukannya yang luar biasa sebagai dosen dan pemateri di pelbagai seminar nasional maupun internasional, memang, sangat menyita waktu bersama keluarga. Maka tak heran, saat ada waktu luang, Rokhmin selalu menyempatkan diri mengajak keluarga untuk salat berjamaah dan mengkaji fenomena masyarakat dengan pendekatan keislaman. Di samping itu, Rokhmin pun mengajak keluarganya mengikuti program Emotional Spiritual Quotient (ESQ) di bawah arahan dai kondang, Ary Ginanjar dengan maksud memperuncing kecerdasan emosi dan spiritual.

Rokhmin berharap, lewat program itu, keluarganya memiliki rasa empati yang tinggi kepada masyarakat dan lingkungan. Ia sering menekankan kepada keluarganya bahwa tidak akan menjadi muslim yang kaafah (sempurna) jika masih terdapat saudara atau tetangganya yang masih kelaparan.

Dalam mendidik anak, yang terpenting bagi Rokhmin adalah mengasah kecerdasan emosional dan sipritual di samping kecerdasan intelektual. Dengan pola pendidikan seperti ini, ia yakin akan tercipta kebahagiaan yang hakiki. “Kebahagiaan yang sebenarnya adalah kebahagiaan hati di mana kita selalu dekat dengan Allah,” kata Rokhmin, seperti yang sering ia katakan kepada anak-anaknya.

Dalam anjurannya kepada anak-anak, Rokhmin menjelaskan bahwa kecerdasan emosional itu tidak didapatkan di bangku kuliah, tapi justeru saat menjadi aktifis. Karena salah satu definisi kecerdasan emosional adalah mampu memelihara dan memompa terus motivasi. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, Rokhmin memberikan tamsil (analogi) tentang orang pintar yang tak memiliki kecerdasan emosi dan ketika down tidak dapat segera bangkit. Hanya dengan kecerdasan emosilah, menurutnya, orang dapat berempati sehingga dapat mengukur diri dan mengenal lingkungan sehingga tercipta kesalehan sosial. Sementara kesalehan sosial itu sendiri tidak mungkin tercapai tanpa melaksanakan ibadah mahdloh.

Selaku orangtua, Rokhmin pun sebisa mungkin menjadi tauladan bagi keluarganya. Tak heran jika anak-anaknya sering melihat rutinitas Rokhmin saat Subuh menjelang. Sudah menjadi rahasia umum dalam keluarganya, jika Rokhmin terbiasa bangun untuk melaksanakan salat tahajud dan mengkaji Alquran lewat terjemahannya. Ayat demi ayat dalam Alquran diperhatikan secara seksama. Maka tak heran, jika dirinya begitu kagum pada kandungan isi Alquran yang memberikan begitu banyak informasi tentang ilmu pengetahuan.

Kebiasaan lain yang dicontohkan Rokhmin kepada keluarganya adalah bagaimana dirinya memaksimalkan jeda waktu antara salat tahajud dan Subuh. Saat seperti itu dimanfaatkan Rokhmin untuk menulis sejumlah artikel yang dipersiapkannya untuk dipresentasikan. Selepas berjamaah Subuh, Rokhmin dan keluarga bersiap jogging sambil menghirup udara segar.

Membina Generasi Beriman

“Bagi saya, yang penting adalah pendidikan iman dan tauhid,” jelas Rokhmin berbagi resep membina keluarga sakinah. Lewat sejumlah aktifitas seperti salat berjamaah, diskusi, serta mengasah empati dengan mengunjungi dan beramal kepada saudara-saudara yang kurang mampu, Rokhmin sangat yakin dapat membimbing keluarganya ke arah yang diridloi Allah Ta’ala.

Dalam doanya, Rokhmin selalu berharap agar Allah menjaga iman keluarganya dan menjadikan keluarganya orang-orang yang selalu memberi dan bermanfaat bagi sesama. Rokhmin pun tak jarang memberikan nasihat bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya.

Pendidikan dalam keluarga tentu tak lepas dari peran Ir. Pigoselpi Anas sebagai seorang ibu. Kebetulan Pigoselpi, demikian mantan kembang Institut Pertanian Bogor itu biasa disapa, selain menjadi seorang pegawai negeri sipil juga tengah menyelesaikan tugas belajar doktoralnya. Meski demikian, dalam kesehariannya, justeru Pigoselpilah yang menjadi pengontrol sekaligus pendidik utama. Pigoselpi memiliki jadual anak-anak. Sehari saja, salah satu di antara anaknya telat pulang, Pigoselpi akan menelepon untuk menanyakan di mana keberadaan si anak. Begitu pula dalam memonitor pergaulan anak-anaknya, Pigoselpi menjadi orang pertama yang mencari tahu dengan siapa saja anak-anaknya bergaul. Bahkan, hingga saat ini, anak-anaknya dilarang menginap di rumah teman-temannya, kecuali yang sudah dikenali betul sifat teman dan keluarganya itu. Rokhmin dan Pigoselpi lebih suka kalau teman anak-anaknya yang main atau menginap di rumahnya.

Sikap Pigoselpi berbeda saat menghadapi anak-anaknya yang hendak memilih jurusan di bangku kuliah. Pigoselpi lebih suka memberikan saran, bukan penentu kebijakan. Dirinya sadar betul bahwa untuk urusan sekolah, anak-anak harus diberikan kebebasan mengembangkan minat dan bakatnya. “Saya lebih suka menjadi pengontrol bagi anak-anak. Saya lebih sering mengajak berdiskusi dan memberikan contoh kepada mereka,” papar Pigoselpi.

Konsep keseimbangan dalam hubungan dengan Allah (hablumminallah) dan hubungan dengan manusia (hablumminannas) tak hanya ingin diterapkan Rokhmin kepada anak-anaknya saja. Begitu pula dalam memilih calon menantu bagi anak-anaknya, kriteria saleh secara individu dan saleh terhadap lingkungan menjadi syarat mutlak. Jelas sekali Rokhmin ingin memilih menantu yang terbaik agar generasi beriman yang dicita-citakannya dapat terbina.

Di samping kriteria itu, Rokhmin pun menetapkan kecerdasan intelektual dan emosional dalam diri calon menantunya. Sebagai seorang dosen, Rokhmin paham betul perbedaan antara mahasiswanya yang aktif di organisasi dan yang tidak aktif. Ia kadang merasa kasihan kepada mahasiswanya yang memiliki kepintaran namun tidak didukung dengan kecerdasan emosional. Ternyata, kepintaran lebih sering tidak mendukung seseorang untuk berkembang ke arah lebih baik.

Saat ini, cara yang ditempuh Rokhmin untuk memilih calon menantu adalah dengan mengajaknya salat berjamaah dan dialog tentang segala hal, baik berkenaan dengan masalah keagamaan maupun pengetahuan umum. Meski demikian, aspirasi sang anak yang akan menjalani kehidupan rumah tangga tentu tak diabaikannya. Hanya saja, Rokhmin ingin mengawasi dan memberikan pilihan agar anaknya tak salah memilih.

Tips.

Anak adalah amanah dari Allah Ta’ala yang harus dijaga eksistensinya dalam keimanan dan ketakwaan. Meski terkesan ketat dalam mendidik anak, pelaksanaan ibadah mahdloh menjadi mutlak dibarengi dengan perilaku santun terhadap sesama.

  1. Pelaksanaan ibadah mahdloh: Pada dasarnya, Allah menciptakan makhluk-Nya adalah untuk mengabdi kepada-Nya. Rentetan ritual dalam Islam yang dicontohkan Rasulullah SAW dan sahabatnya merupakan hal yang mesti diikuti agar terbentuk ketakwaan yang hakiki.
  2. Kesalehan sosial: Konsep yang ditawarkan Rokhmin Dahuri kepada anak-anaknya tentang kesalehan sosial menjadi contoh positif dalam keluarga. Berikan motivasi dan contoh konkrit agar anak-anak mengerti betul makna empati terhadap lingkungan.
  3. Kecerdasan Intelektual: Memiliki anak-anak yang pintar merupakan dambaan setiap orangtua. Dengan arahan positif dari orangtua, anak-anak akan termotivasi menjadi makhluk dengan kecerdasan intelektual. Boleh jadi membebaskan pilihan anak dalam kadar minat dan bakatnya menjadi sebuah pilihan. Namun, orangtua tetap berkewajiban memberikan nasihat.
  4. Ciptakan Diskusi Menjadi Tradisi: Dialog merupakan cara efektif menciptakan keluarga yang harmonis. Keseimbangan pun akan tercipta jika diskusi telah menjadi sebuah tradisi dalam keluarga. Dalam diskusi, orangtua akan mengajak anak-anak berpikir dan mengasah rasa empati.


(Disadur dari Majalah Taubah Edisi Februari 2006, Imam Fathurrohman)

Baca Selanjutnya......

Mencipta Keluarga Maslahat

“Ya Allah, berilah kemaslahatan pada agamaku yang menjadi penjaga urusanku, berilah kemaslahatan pada duniaku tempat aku hidup, berilah kemaslahatan pada akhiratku tempat aku akan kembali, jadikanlah hidupku sebagai sarana mekarnya kebaikan dan jadikanlah matiku sebagai tempat istirahat dari tiap keburukan,” (HR. Imam Muslim)

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Terlahir dari kalangan masyarakat Nahdlatul Ulama (NU) adalah berkah yang tiada terkira bagi H.M. Rozy Munir, SE., MSc. Dari akar masyarakat inilah Rozy, demikian mantan Menteri BUMN dan Penanaman Modal di jaman Gus Dur ini biasa disapa, dapat mengimplementasikan arti Islam sebenarnya. Islam yang moderat, humanis, dan rahmatan lil ‘alamin.

“Islam menganggap kehidupan sebagai sesuatu yang mulia. Sebab hal itu berkaitan dengan tugas mensejahterakan alam dan isinya,” kata pria berkacamata ini memulai perbincangannya dengan TAUBAH. Dan sejurus kemudian, Rozy pun mengemas pernyataannya dengan membacakan QS. Al-Anbiyaa, ayat 107: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”

Dalam pandangannya, tugas manusia di muka bumi ini didukung oleh status makhluk tertinggi dibanding makhluk lainnya. Oleh sebab itulah, Allah SWT menjadikan manusia dalam bentuk kemakhlukan yang sebaik-baiknya (QS. At-Tiin: 4). Maka tak salah, tambah Rozy, jika manusia ditentukan sebagai khalifah di bumi untuk mengeksploitasi sumber daya dirinya dan alam sekitar secara positif.

Berbicara dengan suami dari Hj. Mufida Munir ini memang selalu terkait dengan dalil-dalil, baik naqly maupun ‘aqly, yang sangat terstruktur. Maklum saja, pria kelahiran Mojokerto 16 April 1943 ini merupakan salah seorang cendikiawan NU yang mumpuni. Jalur kehidupannya dipenuhi perbincangan akademis, bahkan saat ini pun dirinya tercatat sebagai Staf Pengajar S2 di Universitas Indonesia di samping sejumlah kegiatan lainnya di kepengurusan pusat NU.

5 Dasar Keluarga Maslahat

26 Desember 1970 lalu, Rozy dan Mufida mulai mengayuh bahtera rumah tangga. Sejak saat itu pula Rozy dan Mufida mencanangkan ‘keluarga maslahat’ sebagai impian ideal rumah tangga mereka. Keluarga maslahat yang dimaksud adalah keluarga yang berguna dan senantiasa mendatangkan kebaikan bagi lingkungannya sesuai dengan ridha Allah SWT.

Ada lima dasar kemaslahatan yang harus dipelihara untuk menciptakan impiannya tersebut, yaitu kebutuhan keselamatan agama, kebutuhan keselamatan akal pikiran, kebutuhan keselamatan jiwa (diri) dan kehormatan, kebutuhan keselamatan keturunan (nasab), dan kebutuhan keselamatan harta benda.

Kelima dasar tersebut, menurut Rozy, merupakan ketatapan mutlak yang kini tengah dipeliharanya. Dengan sepenuh hati, seluruh anggota keluarganya memahami betul fungsi masing-masing. Sebagai seorang suami, misalnya, Rozy membutuhkan dan berkepentingan kepada Hj. Mufida, sang istri, sebagai sosok yang mencintai, mengenal, menghargai, dan menghormatinya.

Pada konteks ini pula, Rozy beranggapan bahwa istri adalah sosok yang harus mematuhi dan setia kepadanya, sosok yang menangani rumah tangga dengan cermat, dan memperlakukan suami sebagai kepala keluarga. Dan hanya kepada sang istri, bibit untuk memperoleh keturunan saleh disemaikan. Istri pun berperan sebagai ibu yang tabah dan bijaksana merawat dan mendidik anak-anaknya ke arah kesempurnaan (insan kamil). “Sejauh ini, alhamdulillah, istri saya merupakan sosok yang sangat ideal,” katanya seraya mengurai senyum.

Sebagai seorang suami, Rozy pun menyadari bahwa sang istri membutuhkan dan berkepentingan kepada dirinya yang mencintai dan mengasihi istrinya, yang mengerti akan harkat kewanitaannya dan menghargai derajat kemanusiaannya. Istri membutuhkan perhatian dan perlindungan suami, sebagai implementasi sikap tanggung jawab atas keluarganya.

Fungsi suami dan istri, sambungnya, akan bersatu saat dikaruniai keturunan. Suami dan istri harus bahu membahu merawat anak-anaknya sejak bayi hingga menjadi remaja, dewasa sampai kemudian berkeluarga. “Itulah role yang benar, dan Insya Allah tengah kami jalani. Bagi kami, anak-anak adalah amanah Allah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya,” paparnya. “dan yang paling penting,” sambungnya, “adalah memperlakukan mereka secara adil!” tegasnya.

Generasi Intelektual dan Sosial

Meski darah Islam tradisional (NU) mengalir dalam tubuhnya, Rozy termasuk sosok liberalis. Dalam pemahamannya, Islam mengajarkan liberalisme dalam mempraktekan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Namun begitu, koridor berupa Alquran dan Hadits tetap menjadi patokan.

Begitu pula dalam mengelola keluarganya, Rozy pun tak segan untuk menanamkan jiwa kebebasan dalam bertindak dan berpikir kepada ketiga anaknya, Avianto Muhtadi, Beny Syaaf, dan Citra Fitri Agustina. Sejak kecil, Rozy mengarahkan ketiga anaknya masuk bangku sekolah umum, bukan pesantren seperti kebanyakan kalangan nahdliyin. “Saya menginginkan anak-anak dapat memahami penggunaan teknologi. Intinya sih, agar mereka dapat bersaing di era globalisasi,” kata Rozy memberikan alasan.

Sementara pendidikan agama, selain diajarkan oleh Rozy dan istri, ketiga anaknya pun mendapatkan pendidikan agama melalui guru privat. Menurut Rozy, inilah konsep keseimbangan dalam pendidikan. Ketiga anaknya tak boleh tertinggal dalam segala disiplin ilmu, baik ilmu pengetahuan umum maupun ilmu pengetahuan agama.

Dan memang, selain memahami dasar-dasar pendidikan agama, ketiga anaknya pun memiliki kemampuan di bidang lainnya. Inilah bekal yang hingga saat ini telah diimplementasikan di masyarakat. Ketiganya terbiasa membantu di saat beragam bencana dan musibah menimpa masyarakat.

Bahkan, meski masih usia belia, Citra Fitri Agustina, telah terbiasa membongkar pintu rumah penduduk untuk dijadikan sampan saat banjir melanda ibukota beberapa waktu lalu. Derasnya banjir saat itu tak menghalangi tekad Citra untuk tetap membantu masyarakat yang membutuhkan.

Saat tsunami memporak-porandakan Nanggroe Aceh Darussalam, akhir tahun 2004 lalu, ketiga anak Rozy ini bahu membahu bersama ribuan sukarelawan lainnya guna membantu evakuasi para korban. Sebagai Ketua Banser DKI Jakarta, Avianto terjun bersama para sukarelawan dari Banser NU. Sementara Beny menyalurkan bahan bantuan makanan dan obat-obatan dan Citra bersama para dokter memberikan pelayanan kesehatan bagi para korban. “Di saat-saat seperti inilah kami merasakan betapa beruntungnya kami dapat terlibat membantu saudara-saudara ketika tertimpa musibah,” kenang Avianto.



(Disadur dari Majalah Taubah Edisi April 2006, Imam Fathurrohman)

Baca Selanjutnya......

Mencipta Generasi Berkualitas


“Dan orang-orang yang berjihad –untuk mencari keridhaan- Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik,” (QS. Al-Ankabut: 69).

*****

Menilik prestasi pribadi yang pernah ditorehkan Dra. Hj. Sri Wahyuningsih, Apt., setiap orang pasti akan berdecak kagum. Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar hingga kuliah di Fakultas Farmasi, Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta, perempuan cantik berkaca mata ini selalu tampil menjadi yang terbaik. Tak hanya di bidang akademik, kesuksesan Ning, begitu biasanya perempuan kelahiran Sragen, 6 Maret 1957, ini biasa disapa, pun terukir pada usahanya kini. Dengan modal seabrek prestasi dan kesuksesan, Ning bertekad mencipta generasi berkualitas dalam rumahnya.

Meski banyak orang tua yang memiliki latar belakang cemerlang, namun belum tentu mampu menularkannya pada anak-anaknya. Hal ini juga disadari Ning dan H. Masrizal A. Syarief, Apt., yang menikahinya pada tanggal 12 Mei 1984. “Pondasi yang saya tanamkan kepada anak-anak adalah keyakinan bahwa Allah itu ada dan Esa. Saya juga tanamkan bahwa kita akan kembali kepadaNya, sehingga hidup yang sebentar ini harus dioptimalkan di jalan yang baik dan benar,” tuturnya membuka pembicaraan dengan TAUBAH yang menyambangi keluarga ini di rumahnya, di kawasan elit Pondok Indah.

Bagi Ning, berprestasi tak melulu soal trofi dan angka-angka. Keluasan pengetahuan dalam segala hal dan mampu mengaplikasikannya untuk kemaslahatan masyarakat menjadi faktor yang begitu penting. Intinya, ketika dirinya berinisiatif untuk memiliki anak-anak yang pintar, maka dirinya pun harus menyiapkan sejumlah ‘jurus jitu’ agar anak-anaknya pun tampil prima di hadapan masyarakat dan Allah SWT.

Jurus jitu yang dimaksud adalah trik dari Ning dan suami agar ketiga anaknya, Prima Yuriandro (21 tahun), Febie Yuriza Putri (18), dan Raisya Yuriafia Putri (8 tahun), menjadi manusia-manusia pilihan yang berguna bagi negara, bangsa, dan agama. Untuk mewujudkannya, ketiga anaknya disekolahkan ke sekolah yang memiliki basis kurikulum Islam.

Dengan belajar di sekolah berbasis kurikulum Islam tersebut, ketiganya pun fasih dalam membaca Alquran. Dalam pergaulan pun mereka bisa membedakan mana yang boleh dan dilarang dalam ajaran Islam.

“Di luar itu, dalam keseharian, saya selalu memberikan contoh, baik dalam tindakan maupun perkataan. Anak-anak bisa melihat sendiri bagaimana saya melaksanakan salat di awal waktu. Saya juga selalu menjaga setiap perkataan agar tidak pernah berbohong di depan anak-anak, meski ada sesuatu yang berat, namun harus dikatakan dengan jujur,” tegas Ning.

Anak-anak Berprestasi

Ketegasan Ning dalam mendidik ketiga anaknya dipraktekkan pula dalam banyak hal. Dirinya tak pernah meluluskan sebuah permintaan dari anak-anaknya, jika mereka belum menunjukan sebuah prestasi yang membanggakan.

Pernah, suatu ketika, Prima minta dibelikan kaset sebuah game. Dengan tegas, Ning memberinya syarat agar Prima mengajari adiknya, Febie, membaca Alquran terlebih dahulu. Setelah Febie bisa, Ning baru mau mewujudkan keinginannya. “Saya tes Febie dulu. Jika dia betul-betul bisa, baru keinginan Prima kita penuhi. Begitu juga dengan pelajaran di sekolah, Prima betul-betul membimbing adiknya,” kisah Ning.

Sikapnya ini, menurut Ning, merupakan sebuah cara agar tertanam rasa persaudaraan yang kuat. Sampai hari ini, sikap kakak ke adik seperti itu masih terus berlanjut. Saat Fia, putri bungsunya, ingin bisa mengoperasikan internet, Ning meminta agar Febie mengajari Fia. Sebagai motivasi, agar anak-anaknya berbuat optimal dan positif, Ning memberi Febie Rp. 25.000,- setiap dua jam untuk mengajari Fia les menggambar, dan Rp. 10.000,- untuk mengajar internet.

Ning dan suami patut bersyukur kepada Allah Ta’ala karena telah diberikan anak-anak yang cerdas dan bertakwa. Ketiga anaknya adalah siswa-siswa teladan di masing-masing sekolahnya. Prima, misalnya, yang tengah menempuh studi di Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, tercatat sebagai mahasiswa pintar dan berprestasi. Saat naik ke tingkat 4, Prima mendapat nilai Indeks Prestasi (IP) 3,88. Sebelumnya, saat naik ke tingkat 3, ia mendapat nilai IP 3,67. “Untuk sebuah jurusan yang sangat kompetitif, nilai IP seperti itu jelas merupakan kebanggaan tersendiri,” tutur Ning dengan bangga.

Kebanggaan itu juga hadir dalam diri Febie dan Fia. Febie yang kini tengah menunggu hasil ujian masuk di FKUI, merupakan anak pintar yang selalu mau tersita waktunya untuk mengajari adiknya, Fia. Di sekolah sebelumnya, Febie tergolong siswi yang memiliki nilai tertinggi.

Lain lagi halnya dengan Fia. Putri bungsu yang cantik ini tergolong anak serba bisa. Meski masih duduk di bangku sekolah dasar, Fia telah memiliki banyak kesibukan. Di antaranya, Fia aktif sebagai presenter di pelbagai acara. Beberapa waktu lalu, gadis cilik itu sudah merampungkan rekaman 16 episode di sebuah stasiun televisi untuk sebuah acara yang dikemas bersama Departemen Pendidikan Nasional. Rencananya, hasil rekaman itu akan diberikan ke sekolah-sekolah sebagai bahan ekstra kurikuler dalam bentuk VCD.

Sementara di stasiun televisi lainnya, Fia tampil dalam program “Fia Sahabatku”. Dalam program tersebut, Fia mengunjungi sahabatnya yang tengah sakit atau membantu sahabat-sahabat di pelosok daerah yang tengah tertimpa musibah. Prestasi lainnya, Fia pernah menjadi nominator AMI Award di tahun 2005. Sebagai seorang penyanyi cilik, Fia juga sudah merilis albumnya dan mendapat respon cukup baik dari masyarakat.

Sejumlah prestasi yang ditorehkan ketiga anaknya, tentu membuat Ning dan suami begitu bangga. Dalam hati yang terdalam, Ning berharap agar kiprah ketiga anaknya mampu bersinggungan langsung dengan masyarakat agar dapat bernilai ibadah. “Bagi saya, anak-anak harus memahami dan mampu menjalankan arti Hablumminallah dan Hablumminannas,” katanya. []

Merengkuh Kekayaan Jiwa

“Tidak disebut kaya karena banyak hartanya, tetapi yang disebut kaya (yang sebenarnya) adalah kekayaan jiwa”. Hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah RA ini, tampaknya, menjadi pedoman penting dalam kehidupan Ning dan seluruh anggota keluarga.

Kekayaan jiwa berarti mau berbagi dengan sesama dan peduli pada lingkungan. Saat ini, banyak orang yang hanya mementingkan diri dan keluarganya tanpa peduli pada sekitar. Ning dan keluarga tak mau terjebak ke dalam golongan orang seperti ini. Ia memiliki cara agar dirinya dan keluarga selalu terasah jiwanya. Salah satunya adalah dengan banyak berbagi rejeki kepada orang-orang tak mampu.

Sementara untuk memberikan pengetahuan tentang berkomunikasi yang baik kepada anak-anaknya, Ning termasuk orang yang pintar mengelola hal ini. Ia dan suami tak segan membawa anak-anaknya untuk ikut dalam setiap kesempatan kerja. “Kadang, ketika mereka libur, saya sering mengajaknya untuk ikut rapat di kantor. Di tengah rapat, anak saya hanya boleh mendengar dan menangkap isi rapat sebagai sebuah wawasan untuk mereka. Di situ, mereka bisa melihat bagaimana Mamanya bekerja dan memimpin sebuah perusahaan,” tutur Ning berbagi resep.

Begitu juga dengan sang suami, jika ia kedatangan tamu, maka salah satu anaknya diajak untuk melihat bagaimana cara papanya berkomunikasi. Untuk sementara, papanya memang lebih sering mengajak Prima yang telah dianggap sudah dewasa dalam urusan bisnis.

Karena sering menemani papanya bertemu rekan bisnis dari luar negeri, maka Prima pun sudah mempersiapkan diri dengan menguasai sejumlah bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris dan bahasa Jerman. “Anak-anak memang kita beri tambahan pengetahuan. Selain bahasa Inggris dan Jerman, mereka juga sudah terbiasa mengenal komputer dan pengetahuan teknologi terkini lainnya,” jelas Ning.

Metode seperti ini, menurut Ning, merupakan cara yang paling sering dilakukannya. Ia dan suami tak perlu memberikan pelajaran dengan banyak bicara, namun dengan contoh dan melibatkan anak-anak. Dengan cara ini, anak-anak akhirnya dapat melihat bahwa apa yang telah dicapai orang tuanya merupakan hasil perjuangan yang cukup panjang.

“Iya. Aku sendiri senang kok kalau sering diajak Mama dan Papa berdialog tentang perjalanan hidup mereka. Aku jadi bisa berkaca dan termotivasi untuk dapat mengikuti langkah mereka,” kata Febie menanggapi metode pendidikan yang diajarkan kedua orang tuanya. []

Ujian dan Rahmat dari Allah

Dalam peta bisnis nasional maupun mancanegara, nama Dra. Hj. Sri Wahyuningsih, Apt. dan H. Masrizal A. Syarief, Apt., sudah tak asing lagi. Bernaung dalam bendera PT. Graha Ismaya, keduanya masuk dalam jajaran pengusaha tersukses. Perusahaan mereka adalah distributor peralatan kedokteran terbaik di negeri ini.

Kesuksesan keduanya, bukanlah tanpa aral. Khusus bagi Ning yang menggerakkan roda perusahaan dari awal, dirinya pernah mendapatkan ujian sekaligus rahmat dari Sang Maha Pencipta. Karena bekerja terlalu keras dan selalu ingin menampilkan kesempurnaan dalam bekerja, dirinya pernah menderita sakit yang sangat parah. “Saya ‘divonis’ menderita penyakit Lupus oleh dokter,” tutur Ning mengisahkan peristiwa yang terjadi di tahun 1994 silam.

Meski hatinya remuk mendengar “vonis” itu, dirinya yakin akan kekuasaan Allah Ta’ala. Selama ini, Ning memang sangat meyakini bahwa kekuasaan Allah di atas segalanya. Keyakinan inilah yang membuatnya bertekad untuk memenuhi panggilanNya pergi ke Baitullah, di tahun yang sama. Ia berangkat bersama suami, bapak, dan ibu mertuanya.

Dengan terus berdzikir mengumandangkan Asma Allah, Ning menahan sakit yang teramat sangat dalam perjalanan sejak berangkat hingga tiba di Mekkah. Ia sangat yakin bahwa Allah betul-betul ada untuknya dan tak akan membiarkannya terus menderita.

Keajaiban dari Allah, akhirnya, betul-betul dirasakan Ning. Saat bertawaf berkeliling Ka’bah, awalnya, Ning dipapah oleh sang suami dan bapaknya. Namun, perlahan-lahan, ia dibiarkan untuk berjalan dengan sendirinya. Saat putaran kedua mengelilingi Ka’bah, keajaiban itu datang. Ia mampu berjalan cepat layaknya orang sehat.

“Subhanallah! Ketika itulah saya benar-benar merasakan kasih sayang Allah. Sejak saat itu, penyakit Lupus yang saya derita berangsur hilang. Saat saya pulang dan diperiksa di laboratorium di Jakarta, saya dinyatakan sembuh,” kisah Ning.

Sebagai rasa syukur, sejak saat itu, dirinya selalu mengajak para karyawan untuk melaksanakan salat Dzuhur dan Ashar berjamah yang ditambah dengan kuliah tujuh menit. Rasa syukur pun ia tampakkan dengan lebih peduli pada lingkungan sekitar dan sejumlah kegiatan Islam. Selain mencari keridhaan Allah, ia pun ingin turut bersyiar menegakkan ajaran yang telah digariskanNya.



(Disadur dari Majalah Taubah Edisi Agustus 2006, Imam Fathurrohman)

Baca Selanjutnya......

woro-woro

Mang Endut lagi cari foto diri!!!
Ada yang mau nyumbang gambar? Sekadar illustrasi atawa corat-coret juga boleh.
Please, deh pokoknya..

Baca Selanjutnya......