Menakar Keimanan Kita

Kesenjangan sosial merupakan fenomena masyarakat yang bersifat global, terjadi baik di negara maju ataupun terbelakang. Bahkan proses integrasi ekonomi global cenderung akan mempertajam perbedaan kelompok kaya dan kelompok miskin. Sebuah lembaga studi di Amerika Serikat, Institute for Policy Study sebagaimana dimuat pada Herald Tribune, 11 tahun silam, pernah meramalkan ekonomi global akan menciptakan kesenjangan antara kelompok kaya dan kelompok miskin yang luar biasa.

Diramalkan bahwa kekayaan dari 447 orang terkaya di dunia akan lebih besar daripada pendapatan penduduk miskin yang mencakup sekitar separo jumlah penduduk dunia, dan dua pertiga penduduk dunia akan mengalami proses pemiskinan. Di bidang tenaga kerja, 200 industri terkemuka dunia akan menguasai sekitar 28% kegiatan ekonomi dunia, tetapi hanya menyerap 1% dari tenaga kerja global dengan gaji yang relatif rendah.

Bagi negara sedang berkembang, seperti di Indonesia, kesenjangan sosial bisa menjadi ancaman keamanan nasional sebab ketimpangan sosial ini akan berakumulasi dan bersinergi dengan berbagai persoalan masyarakat yang kompleks. Ujung-ujungnya, persoalan ketimpangan sosial ekonomi tersebut akan mengganggu proses pembangunan ekonomi. Oleh karena itu, kesenjangan sosial tidak hanya perlu dijadikan topik pembahasan di berbagai seminar tetapi perlu untuk dicari pemecahannya secara jernih.

Jika jeli memerhatikan, bukti kesenjangan sosial dapat kita temui di mana-mana. Satu di antara peristiwa yang paling sering kita temui adalah deretan pengemis yang mengharap belas kasihan kita seraya menengadahkan tangan. Yang memilukan, sebagian besar deretan pengemis adalah anak-anak berusia tiga hingga tujuh tahun. Bahkan, tak jarang, para pengemis dewasa menggendong anak-anaknya yang masih bayi seolah menegaskan betapa pilunya nasib mereka. Para pengemis jenis ini bisa jadi adalah para pengecut yang menjadikan bayi-bayi mereka sebagai tameng kemiskinan. Subhanallah!

Fakta tersebut baru sebatas yang dapat kita lihat secara langsung. Adapun fakta lainnya yang kadang kita lupa adalah betapa banyaknya anak putus sekolah, anak-anak yatim, janda-janda, para pengangguran, dan masih banyak lagi kalangan yang masuk pada kategori dhuafa. Mereka jelas-jelas membutuhkan uluran tangan kita.

Di sisi lain, arus globalisasi pun menyajikan persaingan tidak sehat antarindividu maupun antarkomunitas. Kita banyak menyaksikan pertarungan tak seimbang antara yang lemah melawan yang kuat. Para politisi saling tonjok sekadar memuaskan nafsu ambisi yang belum tentu bermanfaat, namun jelas-jelas berefek mudharat bagi umat. Lagi-lagi, yang menjadi korban adalah rakyat dhuafa yang tak memiliki daya untuk melakukan reaksi atas realita yang ada.

Sementara di kalangan remaja, kita pun kerap menyaksikan perilaku penyimpangan yang membuat mereka terpuruk. Narkoba, tawuran, hingga seks bebas menjadi ilustrasi para remaja saat ini. Remaja di negeri ini sangat miskin budaya ketimuran yang tabu melakukan segala tindak amoralitas. Kemiskinan mereka masih ditambah dengan minimnya pengetahuan agama, sehingga jurang kesesatan pun kian menganga.

Sebagai umat yang beriman, tentu hati kita merasa terusik untuk dapat terlibat dalam setiap perubahan ke arah yang lebih baik. Dengan keimanan yang dimiliki itulah kita berkewajiban untuk melakukan perintah Allah: amar ma'ruf dan nahy munkar, berlomba-lomba mengajak kepada kebenaran dan mencegah kemungkaran. Sebagai umat Islam, kita merupakan umat pilihan yang dibekali kemampuan untuk melakukan kedua amaliah terpuji ini. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah Swt. “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah," (QS. Ali Imran [3]:110).


Makna Amar Ma'ruf dan Nahy Munkar
Dr. Sayyid Muhammad Nuh menjelaskan dalam bukunya Taujihat Nabawiyyah 'Ala al-Thariq bahwa al-ma'ruf adalah nama yang mencakup semua yang dicintai dan diridhai Allah, baik perkataan, maupun perbuatan lahir dan batin. Jadi al-ma'ruf mencakup keyakinan, yaitu iman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, Rasul-Nya, hari akhir dan qadar (takdir). Juga mencakup ibadah, yaitu shalat, zakat, shaum, haji, jihad, nikah dan thalaq, menyusui anak, pemeliharaan anak, nafkah, iddah dan semacamnya.

Mencakup juga hukum dan perundang-undangan seperti mu'amalah maliyyah (transaksi harta), hudud (hukuman-hukuman), qishash, transaksi-transaksi, perjanjian-perjanjian dan semacamnya. Mencakup juga akhlak, seperti shidiq (jujur), 'adil, amanah, 'iffah (menjaga diri dari yang haram), setia janji dan semacamnya.

Semuanya itu dikatakan ma'ruf (yang menurut bahasa berarti dikenal) karena fitrah yang bersih dan akal yang sehat mengenalnya dan menyaksikan kebaikannya. Jadi pengertian amar ma'ruf (menyuruh kepada yang ma'ruf) adalah mengajak dan memberikan dorongan kepada orang untuk melaksanakannya, menyiapkan sebab-sebab dan sarana-sarananya dalam bentuk mengokohkan pilar-pilarnya serta menjadikannya sebagai ciri umum bagi seluruh kehidupan.

Sedangkan Al-Munkar (kemungkaran) adalah nama yang mencakup semua yang dibenci dan tidak diridhai Allah, baik perkataan maupun perbuatan lahir dan batin. Jadi munkar (kemungkaran) mencakup kemusyrikan dengan segala bentuknya, mencakup segala penyakit hati seperti riya', hiqd (dengki), hasad (iri), permusuhan, kebencian dan semacamnya. Mencakup juga penyia-nyiaan ibadah seperti shalat, zakat, shaum, haji dan semacamnya. Mencakup juga perbuatan-perbuatan keji seperti zina, mencuri, minum khamar (minuman keras), menuduh berzina, merampok, berbuat aniaya dan semacamnya. Juga mencakup dusta, zalim, khianat, perbuatan hina, pengecut dan semacamnya.

Kemungkaran dikatakan munkar karena fitrah yang bersih dan akal yang sehat mengingkari dan menyaksikan kejahatan, kerusakan, dan bahaya yang ditimbulkannya. Jadi pengertian nahy munkar (mencegah dari yang mungkar) adalah memperingatkan, menjauhkan, dan menghalangi orang dari melakukannya, memutuskan sebab-sebab dan sarana-sarananya dalam bentuk membasminya sampai ke akar-akarnya serta membersihkan kehidupan dari segala bentuk kemungkaran.


Takaran Iman
Perintah untuk amar ma'ruf dan nahy munkar sangat erat kaitannya dengan keimanan. Karena keterkaitannya yang kuat, maka kadar keimanan seseorang, sejatinya, dapat diketahui dari sejauh mana seseorang tergerak untuk menjalankan amar ma'ruf dan nahy munkar.

Dalam sebuah hadis dari Abu Sa’id Al Khudry r.a., Rasulullah Saw. bersabda: “Barang siapa di antara kamu yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubah (mengingkari) dengan tangannya, jika tidak mampu hendaklah ia mengubah dengan lisannya, jika tidak mampu hendaklah ia mengubah dengan hatinya, dan itulah keimanan yang paling lemah,” (HR. Muslim).

Mari kita perhatikan kandungan hadis di atas. Saat kemungkaran terjadi di depan mata, sesungguhnya keimanan kita tengah diuji: apakah kita akan terlibat langsung untuk mengubah kemungkaran tersebut ataukah kita hanya terpaku diam. Saat kita mengambil inisiatif untuk terlibat langsung dalam proses perubahan itu, maka keimanan kita dapat ditakar sebagai berikut:

1.Jika kita terlibat aktif dengan menggunakan tangan -–dalam hal ini berarti pula kekuasaan, baik jabatan maupun harta-- maka kita masuk pada kategori orang yang memiliki iman kuat.
2.Kalau perubahan itu kita ikuti dengan cara ”hanya” menyumbangkan suara -–dalam hal ini termasuk berdemo, menulis di media-- maka kita masuk pada urutan orang yang memiliki iman lebih lemah.
3.Adapun jika kita hanya menonton saja kemungkaran itu terjadi, namun hati kita berdoa agar kemungkaran itu lenyap, maka kita masuk pada kategori orang yang memiliki iman paling lemah.

Jika melihat kandungan hadis ini, maka bisa dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya orang beriman mesti memiliki motivasi kuat sebagai agent of change dalam memberantas kemungkaran dan berdiri pada garda terdepan pejuang kebenaran. Artinya, orang-orang beriman seyogianya harus memiliki power yang terorganisasi sehingga dapat mengupayakan terjadinya perubahan pada sebuah sistem kemungkaran (nahy munkar) sekaligus terlibat dalam proses implementasi sistem kebenaran (amar ma'ruf).


Muhasabatun Nafs
Implementasi amar ma'ruf dan nahy munkar, sejatinya, dapat kita mulai dari diri kita sendiri. Jika merujuk pada makna yang disodorkan Dr. Sayyid Muhammad Nuh, maka aspek al-ma'ruf dan al-munkar secara lengkap telah terpampang dalam diri kita. Mari kita urai sembari melakukan muhasabatun nafs (introspeksi diri). Kita tanyakan kembali pada diri kita, minimal dua pertanyaan berikut: (1) Apakah kita sudah memiliki sifat jujur, amanah, 'adil, 'iffah, dan terbebas dari segala penyakit hati? (2) Apakah shalat, zakat, puasa, dan ibadah mahdlah lainnya telah kita laksanakan dengan ikhlas?

Langkah berikutnya, coba lirik sekeliling kita: istri, anak-anak, saudara, tetangga, rekan kerja, dan orang-orang yang kita temui saat beraktifitas. Gerakkan hati kita untuk memiliki motivasi kuat mengamalkan amar ma'ruf dan nahy munkar. Ajak diri kita dan juga orang-orang di sekeliling kita untuk mengamalkannya bersama.

Hadirin yang dimuliakan Allah,
Mari kita mulai amalan amar ma'ruf dan nahy munkar dari hal paling sederhana dan memungkinkan kita untuk melakukannya. Jalani hal itu secara konsisten (istikamah) dan pantang berputus asa. Dengan ketetapan hati dan perilaku yang istikamah, niscaya Allah memberikan hidayah kepada kita, menjadikan kita hamba-hamba yang dikasihi-Nya dan menempatkan kita di tempat yang terpuji.

Amin ya rabbal 'alamin.


Tidak ada komentar: