Suerrr, Akang Belum Ikhlas

ANGIN malam berhembus pelan meniup setiap dedaunan yang seketika asyik bergoyang dengan syahdunya. Seperti sebuah orkestra, angin adalah sang arranger yang mengatur dedaunan untuk memunculkan sebuah alunan musik yang indah didengar. Meski tak bersyair, namun sesungguhnya irama orkestra malam itu mengandung pemaknaan nan indah tentang ciptaan Tuhan. Mereka bertasbih dan memuji seraya menyeru keagungan Tuhan dalam setiap desah dan liuk tubuhnya.

Semakin lama orkestra malam semakin seru, apalagi jangkrik dan bangkong sawah mulai bergabung dengan menyumbangkan suara khas. Orkestra malam, kini, mulai berlagu. Syairnya berasal dari jangkrik dan bangkong sawah yang saling bersahutan melantunkan syair berpantun. Tak sulit mengundang jangkrik dan bangkong sawah, karena keduanya merupakan biduan alam yang selalu senang menyumbangkan gemilang suaranya.

Alam selalu memiliki biduan-biduan terindah di jagat raya ini. Selain jangkrik dan bangkong sawah, alam di antaranya memiliki tonggeret dan burung hantu yang selalu melantunkan syair karya Sang Maha Maestro. Sementara di siang hari, panggung orkestra akan dipenuhi para biduan unggulan, mulai dari kenari, kutilang, hingga perkutut yang berkolaborasi indah dengan seruling yang ditiupkan angin.

Malam ini adalah yang kelima belas di bulan Jumadil-Akhir. Tepat pukul tujuh, bulan nan benderang menerangi alam Telaga Kahuripan yang tak seluruhnya berpijar lampu buatan. Walau purnama, danau Cilala tak ramai seperti halnya malam Minggu. Tak ada kelompok geng motor yang semalaman berjoget dangdut di tepi danau, pun tak ada sekelompok satpam yang harus menjaga keamanan. Cilala senyap, meski di beberapa titik terlihat beberapa pasang kekasih tengah asyik-masyuk. Ah, mungkin suasana seperti inilah yang dikatakan sebagai malam terindah oleh orang yang tengah dimabuk cinta.

Menerobos malam yang indah, Mang Endut melarikan sepeda motornya dengan santai. Melintasi Cilala yang sepi tak membuatnya takut atau ngeri dipergoki kuntilanak, gondoruwo, atau jin blegedek ireng (Jin dari jenis apa? Penulis sendiri tidak tahu, no comment!). Bahkan bagi Mang Endut, melintasi Cilala membuat aktifitasnya makin bertambah. Matanya wara-wiri memerhatikan titik-titik tempat sejumlah pasang manusia tengah memadu kasih. Bak kampret Gua Batman (?), mata Mang Endut menelanjangi malam sekadar menciptakan kesenangan hatinya.

Beberapa depa setelah melintasi Cilala, Mang Endut memoncongkan mulutnya untuk menghirup udara sekuat tenaga. Mang Endut bukan sejenis beruk yang gemar memoncongkan mulut, tapi ia sedang memamerkan hobinya menikmati udara nan segar. Tiga jam sebelumnya, Telaga Kahuripan basah diguyur hujan khas Bogor. Bau tanah basah masih menyengat hidung siapapun yang melintasi jalan. Bagi Mang Endut, mengendus bau tanah basah selepas hujan melebihi nikmatnya mengendus asap bakaran sate kambing Abah Warjan. Mang Endut akan mengisi penuh seluruh rongga di dadanya dengan udara segar bau tanah basah.

***

“Sudah makan, Pak?” dengan senyum nan manis Nyi Larung membuka pembicaraan seraya menyorongkan gelas berisi air putih.

“Alhamdulillah, sudah, Nyi,” jawab Mang Engdut yang dengan sigap langsung menenggak habis isi gelas bergambar Tom and Jerry itu.

“Sudah? Di mana? Lauknya apa? Sama siapa?” Nyi Larung bertanya penuh semangat. Tiba-tiba saja di hatinya muncul segunduk perasaan tidak senang atas jawaban Mang Endut.

“Di kantor sama teman-teman. Tadi kita ramai-ramai makan di warung tenda dekat kantor. Enak lho, Nyi. Pecel lelenya gurih dan sambalnya mantaaap pisan!” kisah Mang Endut dengan bangga.

“Oh, jadi begitu ya, Pak? Sejak sore saya tunggu untuk makan bersama, eh, tidak tahunya malah makan di luar. Apa Bapak tidak tahu kalau saya sudah bikin sayur asam, tempe goreng, dan ikan asin jambal roti kesukaan Bapak?”

“Maaf, Nyi. Sehabis rapat di kantor, tiba-tiba kami kelaparan. Jadi, ya..kami makan deh,”

“Lagi pula, bukankah saya sudah pesan tadi pagi supaya Bapak makan malam di rumah?”

“Iya, Nyi. Maaf, itu mah karena accident sedikit saja..”

“Hah? Accident apa-apaan? Bapak sering seperti ini. Tiba-tiba pulang dengan perut kenyang, sementara saya di sini menunggu sendirian seperti kambing congek!”

Gundukan kekesalan yang menyesakkan dada Nyi Larung akhirnya meletup. Suhu malam yang sejuk seketika berubah panas. Senyum manis Nyi Larung yang mengembang ketika Mang Endut datang pun seketika berubah menjadi getir, pahit bukan kepalang. Nyi Larung meradang. Dalam hatinya keluar seribu satu serapah tak jelas maknanya.

Mang Endut yang tersudut hanya diam. Tak ada cengar-cengir yang menjadi ciri khasnya. Suasana hatinya kecut, karena nyali kelelakiannya menjadi ciut. Ibarat bangkong sawah, Mang Endut berada dalam tempurung. Detak jantungnya melemah.

“Maaf, Nyi..”

“Tidak ada kata maaf bagimu!”

“Oh, ya? Nyai tidak mau memaafkan saya?”

“Jika dihitung, ini sudah yang ketiga puluh delapan kali, Pak! Selalu saja makanan di luar lebih Bapak pilih daripada masakan saya!”

“Sekali lagi, maaf, Nyi..”

Permintaan maaf Mang Endut di atas adalah yang terakhir, karena setelah itu suasana menjadi hening. Adapun Nyi Larung dan Mang Endut memiliki suasana hati yang berbeda. Keduanya terdiam, sejenak terlarut suasana hati yang bertolak belakang itu. Denting jam dinding yang menunjukkan tepat pukul delapan berderit parau seolah memiliki suasana hati yang kacau, sebagai bukti partisipasinya pada peristiwa yang tengah terjadi.

***


“Assalamu’alaikum.”

Sebuah suara yang datang dari arah depan mengubah kebekuan suasana. Nyi Larung dan Mang Endut yang terdiam, kini, bergeming. Suasana hati yang semrawut mulai ditata agar peperangan kecil itu tak diketahui orang lain. Seulas senyum pun siap siaga dipasang menghadang siapapun yang tadi mengucapkan salam.

“Wa’alaikumussalam.”

Nyi Larung dan Mang Endut serentak kompak menjawab salam. Tidak ada komando atau aba-aba. Ternyata masih ada sinergi yang menghubungkan hati keduanya.

“Eh, Abah Astagina. Silakan masuk, Abah,” Mang Endut yang membuka pintu dengan ramah menyambut tangan lelaki yang disebutnya Abah Astagina itu untuk diciumnya. Begitu pula Nyi Larung yang tidak ingin ketinggalan mencium tangan Abah Astagina.

Rasa hormat Nyi Larung dan Mang Endut kepada Abah Astagina begitu tinggi. Maklum saja, Abah Astagina merupakan ayah dari Nyi Larung, yang berarti juga merupakan mertua Mang Endut. Tak hanya sepasang suami-istri itu saja yang menaruh hormat kepada lelaki berusia 70 tahunan itu. Hampir seluruh warga di Gugus Candraloka, Telaga Kahuripan pun turut menaruh hormat kepadanya. Selain dituakan, Abah Astagina merupakan tempat bertanya setiap warga karena luasnya kebijaksanaan, pengalaman hidup, dan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Bahkan konon dirinya merupakan sosok yang weruh sa’durunge winarah, mengerti yang akan terjadi.

“Abah tidak sengaja mendengar percakapan sengit kalian. Maaf, bukan bermaksud menguping, tapi kebetulan saja Abah memang sengaja ingin berkunjung ke sini,” Abah Astagina menuturkan maksud kedatangannya.

Nyi Larung dan Mang Endut saling melirik. Ada perasaan tidak nyaman yang dirasakan keduanya karena peristiwa tadi di dengar Abah Astagina. Mang Endut tertunduk, sementara Nyi Larung menarik napas lebih dalam. Keduanya masih bingung, bagaimana menjelaskan peristiwa.

“Ya, seperti yang telah Abah dengar. Kang Endut ini telah membuat hati nyai kecewa..” Nyi Larung mencoba memberanikan diri untuk menjelaskan duduk persoalan.

“Meski telah membuat kecewa, apakah Nyai kehilangan rasa ikhlas telah membuat masakan untuk suami?”

“Ya, jelas, Abah..”

“Dan kamu, Endut. Perilakumu yang mengecewakan hati Nyi Larung, apakah benar-benar telah kamu sadari?”

“Sudah, Abah. Saya berjanji untuk tidak mengulanginya lagi,” kali ini Mang Endut menjawab dengan mantap.

“Nah, sebenarnya sudah selesai persoalannya, kan? Apakah Nyai masih tetap kesal?”

“Ya, jelas, Abah..”

“Cobalah untuk memaafkan, Nyai. Ikhlaskan apa yang telah terjadi. Tugas Nyai sudah benar dengan menyiapkan masakan buat suami. Adapun masakan itu, jika akhirnya tidak dimakan suami, mungkin saja hal itu sudah menjadi bagian dari rencana Tuhan. Ikhlaskan, Nyai. Insya Allah, Nyai akan mendapat balasan kebaikan yang setimpal.”

“Abah, ini bukan persoalan ikhlas atau tidak ikhlas. Ini persoalan betapa Kang Endut telah lalai dan melanggar janji yang telah diikrarkan!”

“Nyai, ikhlas itu merupakan sebuah tindakan yang tidak meminta imbalan apapun bentuknya. Begitu juga dengan apa yang telah dilakukan Nyai. Jika imbalan yang diminta Nyai hanyalah sebatas agar suamimu memakan apa yang Nyai masak, hal itu mungkin masih wajar. Akan tetapi jika imbalan itu dipinta dengan paksaan, maka niscaya hilanglah substansi keikhlasan itu. Adapun janji yang dilanggar suamimu itu pun akan menjadi pertimbangan di hadapan Tuhan!”

Nyi Larung dan Mang Endut yang mendapat penjelasan itu kembali tertunduk. Keduanya semakin menyadari betapa tindakan yang telah dilakukan tak sepatutnya terjadi jika saja keduanya memahami posisinya masing-masing. Penjelasan Abah Astagina kali ini benar-benar menohok batin sepasang suami-istri itu.

“Sudah saatnya kalian belajar bertindak ikhlas. Sebab keikhlasan itu sangat dekat dengan keridhaan Tuhan. Dalam sebuah hadis, Rasulullah Saw. berkisah...”

“Maaf sebentar, Abah. Sebelum melanjutkan, apakah Abah ingin minum? Air putih saja, kan?” Nyi Larung memotong ucapan Abah Astagina.

“He, he, heh.. Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar juga, Nyai. Apa saja yang penting enak,” Abah terkekeh melihat putrinya tanggap pada situasi.

Nyi Larung bergegas menuju dapur menyiapkan air putih untuk sang ayah. Sebagai seorang anak, Nyi Larung paham betul jika ayahnya memiliki masalah dengan tenggorokan. Usia Abah Astagina yang sudah tua ditandai pula dengan batuk yang beberapa kali diperdengarkan. Tak mungkin jika Nyi Larung memberikan teh manis yang nantinya dapat memicu batuk.

“Terima kasih, Nyai,” ujar Abah Astagina saat sebuah gelas dan sepiring singkong rebus menghampirinya.

“Endut, Nyai, ketahuilah bahwa sangat sedikit orang-orang yang memiliki keikhlasan di hatinya. Karena keikhlasan, sejatinya, bukanlah hal yang dapat di-cloning ke siapapun atau bersifat genetik. Para ulama mengatakan, ikhlas merupakan anugerah yang Allah Ta’ala berikan kepada hamba-hamba yang benar-benar mencintai-Nya. Konon, karena persoalan ikhlas inilah Baginda Rasulullah Saw. pernah mengernyitkan dahinya ketika seorang sahabat bertanya tentang apa yang dimaksud dengan ikhlas.

Setelah mematung sejenak, Rasulullah Saw. memusatkan perhatian dan menyampaikan pertanyaan serupa kepada Malaikat Jibril a.s., ‘Aku bertanya kepada Jibril As tentang ikhlas, apakah ikhlas itu?'' Lalu Jibril bertanya kepada Tuhan Yang Mahasuci tentang ikhlas, apakah sebenarnya? Allah Swt. menjawab Jibril dengan berfirman, ‘Suatu rahasia dari rahasia-Ku yang Aku tempatkan di hati hamba-hamba-Ku yang Kucintai.’ Demikianlah, begitu sulitnya menemukan ikhlas di hati semua orang, sampai-sampai Rasulullah Saw. sangat berhati-hati mengupas definisi ikhlas.

Endut, Nyai, seorang ulama kenamaan, Imam Al-Qusyairi An-Naisabury berpandangan bahwa bila seseorang memiliki sifat ikhlas, sesungguhnya ia akan menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan hidup. Apa yang dilakukannya semata-mata untuk Allah meski yang dia perbuat untuk mengurangi penderitaan sesama manusia. Ia akan selalu membantu orang, dengan alasan karena Allah memang Zat yang senang membantu. Ia akan bekerja kalau Allah yang menjadi tujuannya.”

“Wah, wah, beruntung sekali orang yang diberikan rasa ikhlas oleh Allah. Tapi, Abah. Apakah kita bisa menilai seseorang yang memiliki rasa ikhlas?” tanya Mang Endut.

“Oh, bisa. Sahabat Anas Ibnu Malik menuturkan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda mengenai ciri-ciri seorang mukhlis (orang yang memiliki keikhlasan), ‘Belenggu tidak akan masuk ke dalam hati seorang muslim jika ia menetapi tiga perkara; ikhlas beramal hanya bagi Allah, memberikan nasihat yang tulus kepada seorang penguasa dan tetap berkumpul dengan masyarakat muslim.’ Kalau kita bedah ketiga perkara ini, maka di dalamnya terdapat sebuah jihad an-nafs yang luar biasa. Kita dianjurkan untuk beramal hanya karena Allah Ta’ala saja, kita juga dianjurkan untuk memberikan nasihat kepada penguasa yang harus kita berikan nasihat dengan tanpa meminta pamrih apapun, baik uang maupun kekuasaan atau yang lainnya. Dan yang terakhir, kita pun dianjurkan untuk berkumpul dengan orang-orang muslim, yang tentunya mampu saling mengingatkan tentang kebenaran dan kesabaran.

Dan bagi seorang yang ikhlas, seluruh perbuatannya akan selalu berdasarkan suara nurani untuk kebaikan semua orang dan semua makhluk. Jika timbul dalam hatinya sebuah niat baik, ia akan melakukannya. Hidupnya mengalir seperti air bah, menerjang apa saja yang ada di depannya. Untuk apa yang dia perbuat, dia sudah melupakan apa yang disebut dengan pujian dan cercaan. Kata Dzun Nun Al-Mishry, ‘Amalnya tak lagi memberi ruang bagi lahirnya pujian atau cercaan’. Orang yang ikhlas akan tetap bekerja sesuai pesan Allah, meski manusia di sekitarnya memberikan pujian atau malah mencelanya.

Demikian tingginya derajat keikhlasan itu sehingga tidak semua orang mampu menjangkaunya. Dan ingat! Gara-gara ketidak-ikhlasan inilah orang-orang yang kita anggap saleh, justru pada akhirnya banyak yang tergelincir di jurang neraka!”

“Kenapa bisa begitu, Abah?” Mang Endut bertanya dengan serius.

“Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim r.a. dijelaskan bahwa Rasulullah Saw. mengisahkan tentang keadaan tiga orang yang melakukan amalan saleh: Orang yang pertama adalah seorang yang pandai membaca dan mengajarkan Al-Qur’an. Orang kedua adalah orang yang banyak bersedekah. Orang yang ketiga adalah orang yang berjihad di jalan Allah. Ketiganya merupakan orang-orang yang bergelimang pujian di mata masyarakat.

Ketika di akhirat, ditampakkan kepada ketiga orang ini nikmat-nikmat yang telah Allah berikan kepada mereka. Mereka lalu ditanya untuk apa nikmat yang Allah berikan tersebut. Orang yang pertama mengatakan bahwa nikmat yang Allah berikan itu dia pergunakan untuk membaca dan mengajarkan Al-Qur’an ikhlas karena Allah. Orang yang kedua begitu juga, dia menyebutkan bahwa nikmat dari Allah dia manfaatkan untuk bersedekah di jalan Allah. Dan orang yang ketiga berucap bahwa nikmat yang Allah berikan dia manfaatkan untuk berjihad di jalan Allah.

Setelah mereka menjawab pertanyaan tersebut, mereka ternyata tidak dipercayai oleh Allah. Orang pertama yang membaca serta mengajarkan Al-Qur’an, ternyata, memiliki secuil niat di dalam hatinya agar disebut sebagai qari’ (pembaca Al-Qur’an). Adapun orang kedua yang banyak bersedekah, memiliki secuil niat yang jauh di hati sanubarinya agar dipanggil sebagai dermawan. Sedangkan orang ketiga yang menghabiskan sebagian umurnya untuk berjihad, pun dinilai Allah memiliki secuil niat agar dia populer dengan panggilan pemberani dan saat meninggal nanti berharap mendapat gelar pahlawan.

Nasib mereka kemudian sangat tragis. Allah memerintahkan para malaikat agar ketiganya diseret ke dalam api neraka. Bahkan, lebih dari itu mereka diseret dengan sangat terhina!”

“Iiiih, serem sekali, Abah,” Nyi Larung yang merinding mengusap tangannya.

“Ya, begitulah, Nyai. Tiga orang yang melakukan perbuatan begitu mulia ternyata malah diseret ke dalam api neraka dengan sangat terhina. Apalagi kita yang hanya melakukan pekerjaan biasa saja, atau bahkan cenderung lalai terhadap apa yang diperintahkan Allah Ta’ala?”

“Berarti ketiganya memiliki persoalan dalam masalah niat, ya, Abah?” Mang Endut yang mencoba menganalisis kisah tadi bertanya dengan nada serius.

“Betul, Endut! Perbuatan baik mereka tercoreng oleh niat yang tidak diridhai Allah, meski hanya secuil! Oleh karena itu, Endut dan Nyai, marilah luruskan niat kita. Jangan sampai ibadah kita sia-sia karena tidak pandai menata niat. Jangan sampai sedekah kita diniatkan untuk popularitas, memberi makan orang miskin diniatkan agar dibicarakan orang, membaca Al-Qur’an di masjid-masjid supaya kelihatan alim, salat berjamaah di masjid biar dikira kita banyak ibadah, memerangi kemaksiatan supaya mendapat apresiasi dari banyak kalangan sebagai pemberani, atau lain sebagainya.”

“Wah, kalau begitu, sulit juga kita melakukan amal kebaikan. Bukankah terkadang kita sulit untuk melakukan sesuatu kalau tidak ada pamrih, Abah?” lagi-lagi Mang Endut bertanya.

“Itulah gunanya latihan beramal. Biasakan kita berniat dengan tulus hanya karena mengharapkan ridha Allah Swt. saja.”

“Kasihan juga, ya, para politisi kita yang menebarkan uangnya atas nama kadeudeuh. Karena di saat membagikan sembako, uang, sarung, dan Al-Qur’an, mereka juga membagikan kartu nama agar warga mengingat dirinya dan pada akhirnya memilih dia saat pilkada,” kata Nyi Larung.

“Memang, sejatinya para pemimpin dan calon pemimpin di negeri kita ini memberikan contoh terbaik kepada rakyatnya. Para pemimpin yang memiliki keikhlasan tentu akan selalu bekerja sesuai amanat rakyat, meski dia sadar tak ada orang yang memujinya. Dia selalu bekerja tanpa kompromi terhadap pelanggar dan pengkhianat rakyat, meski tahu akan dicerca banyak orang, bahkan koleganya.
Bagi orang yang hidupnya diliputi tabir keikhlasan, malah akan selalu melupakan apa yang telah dia amalkan. Anehnya, para pemimpin yang mendapatkan amanat rakyat justru tidak pernah mau bekerja dan beramal. Bahkan, kalau pun harus bekerja, dia masih menunggu apakah memang terbuka peluang bagi munculnya pujian. Keberaniannya memberantas korupsi langsung mengkerut, setelah berhitung betapa banyak yang akan mencercanya.

Para pemimpin yang hatinya bersimbah keikhlasan ini akan berlaku adil, tidak hanya memihak golongannya saja, tetapi juga mendengarkan aspirasi sebagian rakyatnya yang lain. Ia pun akan bersifat universal, lintas agama, lintas golongan ataupun lintas kepentingan politik, asalkan masih berada dalam koridor kebenaran. Pemimpin semacam inilah yang selalu menjadi gunjingan positif publik dunia sekaligus didengarkan segala aspirasinya.”

“Betapa indahnya negeri ini jika memiliki para pemimpin dan wakil rakyat yang hatinya berselimut tabir keikhlasan, ya, Abah. Sayangnya, para pemimpin kita dan wakil rakyat, sepertinya, memiliki political will yang jauh dari keikhlasan untuk menyejahterakan rakyatnya. Mereka malah sibuk mementingkan kebutuhan pribadi dan golongannya dengan menghalalkan segala cara dan tidak peduli pada kondisi riil rakyatnya.”

“Tapi ingat, Nyai, bukan karena kisah dari Rasulullah Saw. tadi kita kemudian menyurutkan langkah untuk beramal kebaikan. Bisa jadi orang-orang yang mendengarkan kisah di atas berpendapat untuk lebih memilih tidak berbuat amal kebaikan dibandingkan berbuat namun tetap saja dijebloskan ke neraka. Bukan begitu. Teruskan saja kita beramal kebaikan, namun, yang perlu diingat dan diperhatikan adalah: kita harus menjaga niat!”

“Oh, begitu. Hampir saja saya berpendapat bahwa mungkin lebih baik saya tidak menyiapkan masakan untuk Kang Endut. Karena saya takut jika salah niat, apa yang saya kerjakan pun menjadi sia-sia.”

“Wah, jangan begitu dong, Nyai. Bagaimana dengan cacing-cacing yang ada di perut saya?” Mang Endut memprotes dengan kekanak-kanakannya.

“Betul, jangan begitu, Nyai. Sebagai manusia, kita adalah mahalul khatha’ wa an-nisyan, tempat salah dan lupa. Jadi, saat kita merasa ada sedikit saja niat kita yang melenceng dari koridor yang benar, maka perbaikilah. Ucapkan istighfar ketika kita tergeincir, agar Allah Swt. berkenan mengampuni kita dan meluruskan kembali niat kita. Setelah memohon ampun, tatalah kembali hati kita untuk berniat, apa pun yang kita kerjakan hanya berharap mendapat keridhaan Allah Swt..”

“Sekarang saya mengerti, Abah. Mulai sekarang saya akan tetap tersenyum meski masakan saya tetap saja tidak dimakan Kang Endut,” Nyi Larung mengangguk dengan nada bersemangat.

“Nah, begitu dong, Nyai. Sebagai istri, melakukan service terbaik untuk suami adalah kewajiban. Kalaupun hasilnya tidak seperti yang diharapkan, ya, itu persoalan lain. Jika suami tidak mau memakannya, mungkin saja dia sudah kenyang atau memang kurang menghargai usaha istrinya. Hal itu jangan kamu pikirkan, Nyai. Biar saja itu urusan suamimu di hadapan Allah.”

“Betul, Abah! Biar saja Kang Endut digerus ulekan malaikat Malik jika sekali lagi berani mengingkari janjinya!” tiba-tiba Nyi Larung berpaling ke arah Mang Endut sambil memelototkan matanya.

“Iih, ulah kitu, Nyai. Saya janji tidak mengulanginya. Sueerr,” Mang Endut yang bergidik melihat ulah istrinya langsung mengacungkan dua jarinya.

***

Kehadiran Abah Astagina benar-benar menjadi pelita dalam keluarga Mang Endut dan Nyi Larung. Setidaknya, keributan yang terjadi dapat padam dan berubah menjadi sebuah kebahagiaan. Kini, di hadapan Abah Astagina tampak sebuah pertunjukan dagelan yang diperankan Mang Endut dan Nyi Larung yang saling berbantahan sambil sesekali tertawa.

Denting jam berulang sepuluh kali, pertanda tepat pukul sepuluh malam. Aura kebahagiaan yang terpancar di ruangan lagi-lagi memberikan imbas pada jam dinding. Kini, suara dentingannya tak lagi parau, melainkan nyaring pertanda turut bahagia pada suasana hati sang majikan.

“Alhamdulillah. Tidak terasa, ternyata sudah pukul sepuluh malam. Nyai, Endut, Abah pamit pulang,” Abah Astagina berdiri sambil merapikan bajunya.

“Abah, ini kan sudah larut. Sebaiknya Abah menginap saja di sini. Kamar depan sudah saya persiapkan untuk Abah,” Nyi Larung menawarkan.

“Terima kasih, Nyai. Mungkin lain kali saja, ya,”

“Tidak, Abah. Nyai berharap sekali Abah menginap malam ini. Bukankah di rumah ada Nyi Laras dan Dawala? Biar nanti saya menelepon ke rumah. Menginap saja, Abah,” Nyi Larung merengek seperti anak kecil meminta balon kepada ayahnya.

“Baiklah. Kalau begitu, Abah langsung tidur saja. Sudah mengantuk.”

“Sudah salat isya, Abah?” tanya Mang Endut.

“Alhamdulillah sudah.”

Abah Astagina langsung menuju kamar yang ditunjukkan Nyi Larung. Setelah pintu kamar tertutup, suasana ruang keluarga itu kembali hening.

“Nyai, kenapa Abah diminta menginap di sini?” tanya Mang Endut.

“Lho, memang kenapa, Pak?”

“Nyai, apa kamu lupa kalau malam ini malam Jumat?”

“Ada apa dengan malam Jumat, Pak?”

“Iih, Nyai. Kata orang, malam ini kan sunah rosul kalau kita...”

“Oh, begitu.. apa hubungannya dengan Abah?”

“Ya.., tidak nyaman saja.”

“Pak, ikhlaskan saja kehadiran Abah di sini. Mudah-mudahan amal kebaikan kita mendapat ridha Allah. Belajar ikhlas, ya, Pak,” begitu lembut Nyi Larung membelai wajah suaminya.
Ikhlas? Kata-kata itu masih mengganjal dalam hati Mang Endut. Untuk situasi yang lain, mungkin kata-kata itu masih bisa dipahami. Tapi, dalam keadaan seperti ini? Mang Endut masih harus berpikir ulang untuk menggarisbawahi kata ikhlas!

"Nyai, suerrr..Akang belum ikhlas," gumam Mang Endut lirih.

Ah, Mang Endut...

1 komentar:

Anonim mengatakan...

kl gue dlm posisi yg sama kayak mang endut... gue gak peduli sama abah. hantem terus!!! hehehehehehe