Menempa Kesalehan Sosial dalam Keluarga

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Berbuat baiklah kepada kedua orangtua, kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahayamu.” (QS. An-Nisa: 36)

*****

Kesalehan pribadi merupakan cermin terciptanya kesalehan sosial. Degradasi moral yang dipertontonkan masyarakat Indonesia, baik di level bawah hingga atas, adalah implikasi nyata lemahnya kesalehan sosial. Tengok saja faktanya, ibu pertiwi menduduki posisi kedua setelah Swedia untuk urusan negara dengan kasus pornografi dan pornoaksi lewat lokalisasi, sinetron, film, hingga media yang mengeksploitasi kemesuman. Belum lagi fakta bahwa negara ini menjadi salah satu negara terkorup di dunia. Kemiskinan merajalela di mana-mana, kelaparan hingga ketimpangan sosial yang terpampang di setiap sudut desa dan kota.

Miris hati Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS saat melihat kenyataan yang menjadi cermin negara ini. Lebih miris lagi, Indonesia adalah negara dengan jumlah pemeluk Islam terbesar di dunia. Sering terlintas pelbagai pertanyaan dalam benaknya, ke mana salat, puasa, zakat, dan haji yang selama ini dilaksanakan umat Islam? Alangkah nihilnya nilai ibadah yang dilakukan dalam keseharian, sehingga tak memiliki dampak positif bagi diri dan lingkungan sekitar. Sementara jamaah-jamaah taklim dan dzikir tumbuh bak jamur di musim hujan. Apalagi pelaksanaan ibadah umrah dan haji mengalami peningkatan.

Sebagai mantan pejabat eksekutif, Rokhmin sering memperhatikan perilaku ibadah di kalangan para pejabat negara. Di antara mereka, menurutnya, banyak yang hanya melaksanakan salat Jumat saja dalam seminggunya. Hal itu lebih kentara lagi saat dirinya sering melakukan tugas ke daerah bersama sejumlah pejabat muslim. Dan yang lebih parah adalah budaya suap yang saat ini menjadi tren di kalangan mereka. ”Sebagian besar dari para pejabat, saat saya menjadi menteri, memiliki karakter mata duitan. Seolah-olah segala kebaikan itu dinilai dengan uang. Siapa pun yang ngasih uang, baru dianggap sahabat. Padahal, yang merusak negara itu kan mereka yang melakukan itu,” papar menteri di era Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri ini dengan geram.

Sekali waktu dirinya menemukan orang yang rajin salat, namun banyak di antara mereka yang berkelakuan tidak baik. Orang-orang seperti inilah yang kadang tidak dapat dimengerti olehnya. Bisa jadi, mungkin, mereka melaksanakan salat lima waktu dalam sehari, namun hubungannya dengan rekan kerja atau lingkungannya begitu buruk. “Lalu di mana hakikat salatnya?” suatu saat Rokhmin bertanya kepada anak-anaknya. “Mungkin salatnya hanya jungkal-jungkel saja, Pa,” jawab mereka.

Berbagai kenyataan yang terjadi di masyarakat, betul-betul sangat diperhatikan Rokhmin. Bahkan, tema-tema seperti itulah yang sering dijadikan bahan ulasan saat Rokhmin berkumpul selepas salat berjamaah dengan istri dan anak-anaknya. Inilah salah satu cara Rokhmin berdialog dan membincang keislaman agar lebih dekat dengan realita di masyarakat.

Dalam pandangannya, kesalehan pribadi (individual) yang terealisasi dalam bentuk ibadah mahdloh (wajib) harus tercermin dalam ibadah muamalah yang berhubungan langsung dengan antar sesama manusia dan lingkungan. “Itulah yang disebut kesalehan sosial. Seimbang antara hablumminallah dan hablumminannas,” urai Rokhmin. “Bukankah menurut para mufassir, Alquran memberikan pernyataan tentang ibadah muamalah sebanyak 70 persen dan ibadah mahdloh 30 persen? Kadang kita hanya ingat yang 30 persen itu saja,” tambahnya.

Mengasah Empati

Dalam mendekatkan konsep kesalehan sosial, tak jarang Rokhmin mengajak keempat anaknya; Sri Minawati, Muthia Ramdhini, Rahmania Kannesia, dan Sylvana Afiati mengunjungi daerah-daerah nelayan. Tujuannya tak lain agar mereka merasakan kehidupan saudara-saudaranya yang sama sekali berbeda dengan keadaan mereka, baik secara ekonomi maupun budaya. Sebagai ayah yang hanya memiliki anak-anak perempuan, Rokhmin merasa bersyukur dapat dengan mudah memberikan arahan.

Untuk berbusana muslimah sekalipun, Rokhmin tak perlu bersusah payah menyarankan. Anak pertamanya, Sri Minawati, yang kini menimba ilmu di Australia dengan keikhlasannya sendiri mengenakan busana muslimah. “Alhamdulillah, anak kedua kami, Muthia Ramdhini, yang kini kuliah di Universitas Padjadjaran, sebulan lalu memutuskan untuk konsisten mengenakan busana muslimah,” kata Ir. Pigoselpi Anas, sang ibu memberikan penjelasan.

Keseriusan Rokhmin dalam membimbing anak-anak dan istrinya terlihat pula saat dirinya memiliki waktu luang. Kesibukannya yang luar biasa sebagai dosen dan pemateri di pelbagai seminar nasional maupun internasional, memang, sangat menyita waktu bersama keluarga. Maka tak heran, saat ada waktu luang, Rokhmin selalu menyempatkan diri mengajak keluarga untuk salat berjamaah dan mengkaji fenomena masyarakat dengan pendekatan keislaman. Di samping itu, Rokhmin pun mengajak keluarganya mengikuti program Emotional Spiritual Quotient (ESQ) di bawah arahan dai kondang, Ary Ginanjar dengan maksud memperuncing kecerdasan emosi dan spiritual.

Rokhmin berharap, lewat program itu, keluarganya memiliki rasa empati yang tinggi kepada masyarakat dan lingkungan. Ia sering menekankan kepada keluarganya bahwa tidak akan menjadi muslim yang kaafah (sempurna) jika masih terdapat saudara atau tetangganya yang masih kelaparan.

Dalam mendidik anak, yang terpenting bagi Rokhmin adalah mengasah kecerdasan emosional dan sipritual di samping kecerdasan intelektual. Dengan pola pendidikan seperti ini, ia yakin akan tercipta kebahagiaan yang hakiki. “Kebahagiaan yang sebenarnya adalah kebahagiaan hati di mana kita selalu dekat dengan Allah,” kata Rokhmin, seperti yang sering ia katakan kepada anak-anaknya.

Dalam anjurannya kepada anak-anak, Rokhmin menjelaskan bahwa kecerdasan emosional itu tidak didapatkan di bangku kuliah, tapi justeru saat menjadi aktifis. Karena salah satu definisi kecerdasan emosional adalah mampu memelihara dan memompa terus motivasi. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, Rokhmin memberikan tamsil (analogi) tentang orang pintar yang tak memiliki kecerdasan emosi dan ketika down tidak dapat segera bangkit. Hanya dengan kecerdasan emosilah, menurutnya, orang dapat berempati sehingga dapat mengukur diri dan mengenal lingkungan sehingga tercipta kesalehan sosial. Sementara kesalehan sosial itu sendiri tidak mungkin tercapai tanpa melaksanakan ibadah mahdloh.

Selaku orangtua, Rokhmin pun sebisa mungkin menjadi tauladan bagi keluarganya. Tak heran jika anak-anaknya sering melihat rutinitas Rokhmin saat Subuh menjelang. Sudah menjadi rahasia umum dalam keluarganya, jika Rokhmin terbiasa bangun untuk melaksanakan salat tahajud dan mengkaji Alquran lewat terjemahannya. Ayat demi ayat dalam Alquran diperhatikan secara seksama. Maka tak heran, jika dirinya begitu kagum pada kandungan isi Alquran yang memberikan begitu banyak informasi tentang ilmu pengetahuan.

Kebiasaan lain yang dicontohkan Rokhmin kepada keluarganya adalah bagaimana dirinya memaksimalkan jeda waktu antara salat tahajud dan Subuh. Saat seperti itu dimanfaatkan Rokhmin untuk menulis sejumlah artikel yang dipersiapkannya untuk dipresentasikan. Selepas berjamaah Subuh, Rokhmin dan keluarga bersiap jogging sambil menghirup udara segar.

Membina Generasi Beriman

“Bagi saya, yang penting adalah pendidikan iman dan tauhid,” jelas Rokhmin berbagi resep membina keluarga sakinah. Lewat sejumlah aktifitas seperti salat berjamaah, diskusi, serta mengasah empati dengan mengunjungi dan beramal kepada saudara-saudara yang kurang mampu, Rokhmin sangat yakin dapat membimbing keluarganya ke arah yang diridloi Allah Ta’ala.

Dalam doanya, Rokhmin selalu berharap agar Allah menjaga iman keluarganya dan menjadikan keluarganya orang-orang yang selalu memberi dan bermanfaat bagi sesama. Rokhmin pun tak jarang memberikan nasihat bahwa sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya.

Pendidikan dalam keluarga tentu tak lepas dari peran Ir. Pigoselpi Anas sebagai seorang ibu. Kebetulan Pigoselpi, demikian mantan kembang Institut Pertanian Bogor itu biasa disapa, selain menjadi seorang pegawai negeri sipil juga tengah menyelesaikan tugas belajar doktoralnya. Meski demikian, dalam kesehariannya, justeru Pigoselpilah yang menjadi pengontrol sekaligus pendidik utama. Pigoselpi memiliki jadual anak-anak. Sehari saja, salah satu di antara anaknya telat pulang, Pigoselpi akan menelepon untuk menanyakan di mana keberadaan si anak. Begitu pula dalam memonitor pergaulan anak-anaknya, Pigoselpi menjadi orang pertama yang mencari tahu dengan siapa saja anak-anaknya bergaul. Bahkan, hingga saat ini, anak-anaknya dilarang menginap di rumah teman-temannya, kecuali yang sudah dikenali betul sifat teman dan keluarganya itu. Rokhmin dan Pigoselpi lebih suka kalau teman anak-anaknya yang main atau menginap di rumahnya.

Sikap Pigoselpi berbeda saat menghadapi anak-anaknya yang hendak memilih jurusan di bangku kuliah. Pigoselpi lebih suka memberikan saran, bukan penentu kebijakan. Dirinya sadar betul bahwa untuk urusan sekolah, anak-anak harus diberikan kebebasan mengembangkan minat dan bakatnya. “Saya lebih suka menjadi pengontrol bagi anak-anak. Saya lebih sering mengajak berdiskusi dan memberikan contoh kepada mereka,” papar Pigoselpi.

Konsep keseimbangan dalam hubungan dengan Allah (hablumminallah) dan hubungan dengan manusia (hablumminannas) tak hanya ingin diterapkan Rokhmin kepada anak-anaknya saja. Begitu pula dalam memilih calon menantu bagi anak-anaknya, kriteria saleh secara individu dan saleh terhadap lingkungan menjadi syarat mutlak. Jelas sekali Rokhmin ingin memilih menantu yang terbaik agar generasi beriman yang dicita-citakannya dapat terbina.

Di samping kriteria itu, Rokhmin pun menetapkan kecerdasan intelektual dan emosional dalam diri calon menantunya. Sebagai seorang dosen, Rokhmin paham betul perbedaan antara mahasiswanya yang aktif di organisasi dan yang tidak aktif. Ia kadang merasa kasihan kepada mahasiswanya yang memiliki kepintaran namun tidak didukung dengan kecerdasan emosional. Ternyata, kepintaran lebih sering tidak mendukung seseorang untuk berkembang ke arah lebih baik.

Saat ini, cara yang ditempuh Rokhmin untuk memilih calon menantu adalah dengan mengajaknya salat berjamaah dan dialog tentang segala hal, baik berkenaan dengan masalah keagamaan maupun pengetahuan umum. Meski demikian, aspirasi sang anak yang akan menjalani kehidupan rumah tangga tentu tak diabaikannya. Hanya saja, Rokhmin ingin mengawasi dan memberikan pilihan agar anaknya tak salah memilih.

Tips.

Anak adalah amanah dari Allah Ta’ala yang harus dijaga eksistensinya dalam keimanan dan ketakwaan. Meski terkesan ketat dalam mendidik anak, pelaksanaan ibadah mahdloh menjadi mutlak dibarengi dengan perilaku santun terhadap sesama.

  1. Pelaksanaan ibadah mahdloh: Pada dasarnya, Allah menciptakan makhluk-Nya adalah untuk mengabdi kepada-Nya. Rentetan ritual dalam Islam yang dicontohkan Rasulullah SAW dan sahabatnya merupakan hal yang mesti diikuti agar terbentuk ketakwaan yang hakiki.
  2. Kesalehan sosial: Konsep yang ditawarkan Rokhmin Dahuri kepada anak-anaknya tentang kesalehan sosial menjadi contoh positif dalam keluarga. Berikan motivasi dan contoh konkrit agar anak-anak mengerti betul makna empati terhadap lingkungan.
  3. Kecerdasan Intelektual: Memiliki anak-anak yang pintar merupakan dambaan setiap orangtua. Dengan arahan positif dari orangtua, anak-anak akan termotivasi menjadi makhluk dengan kecerdasan intelektual. Boleh jadi membebaskan pilihan anak dalam kadar minat dan bakatnya menjadi sebuah pilihan. Namun, orangtua tetap berkewajiban memberikan nasihat.
  4. Ciptakan Diskusi Menjadi Tradisi: Dialog merupakan cara efektif menciptakan keluarga yang harmonis. Keseimbangan pun akan tercipta jika diskusi telah menjadi sebuah tradisi dalam keluarga. Dalam diskusi, orangtua akan mengajak anak-anak berpikir dan mengasah rasa empati.


(Disadur dari Majalah Taubah Edisi Februari 2006, Imam Fathurrohman)

Tidak ada komentar: