Mencipta Keluarga Maslahat

“Ya Allah, berilah kemaslahatan pada agamaku yang menjadi penjaga urusanku, berilah kemaslahatan pada duniaku tempat aku hidup, berilah kemaslahatan pada akhiratku tempat aku akan kembali, jadikanlah hidupku sebagai sarana mekarnya kebaikan dan jadikanlah matiku sebagai tempat istirahat dari tiap keburukan,” (HR. Imam Muslim)

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Terlahir dari kalangan masyarakat Nahdlatul Ulama (NU) adalah berkah yang tiada terkira bagi H.M. Rozy Munir, SE., MSc. Dari akar masyarakat inilah Rozy, demikian mantan Menteri BUMN dan Penanaman Modal di jaman Gus Dur ini biasa disapa, dapat mengimplementasikan arti Islam sebenarnya. Islam yang moderat, humanis, dan rahmatan lil ‘alamin.

“Islam menganggap kehidupan sebagai sesuatu yang mulia. Sebab hal itu berkaitan dengan tugas mensejahterakan alam dan isinya,” kata pria berkacamata ini memulai perbincangannya dengan TAUBAH. Dan sejurus kemudian, Rozy pun mengemas pernyataannya dengan membacakan QS. Al-Anbiyaa, ayat 107: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”

Dalam pandangannya, tugas manusia di muka bumi ini didukung oleh status makhluk tertinggi dibanding makhluk lainnya. Oleh sebab itulah, Allah SWT menjadikan manusia dalam bentuk kemakhlukan yang sebaik-baiknya (QS. At-Tiin: 4). Maka tak salah, tambah Rozy, jika manusia ditentukan sebagai khalifah di bumi untuk mengeksploitasi sumber daya dirinya dan alam sekitar secara positif.

Berbicara dengan suami dari Hj. Mufida Munir ini memang selalu terkait dengan dalil-dalil, baik naqly maupun ‘aqly, yang sangat terstruktur. Maklum saja, pria kelahiran Mojokerto 16 April 1943 ini merupakan salah seorang cendikiawan NU yang mumpuni. Jalur kehidupannya dipenuhi perbincangan akademis, bahkan saat ini pun dirinya tercatat sebagai Staf Pengajar S2 di Universitas Indonesia di samping sejumlah kegiatan lainnya di kepengurusan pusat NU.

5 Dasar Keluarga Maslahat

26 Desember 1970 lalu, Rozy dan Mufida mulai mengayuh bahtera rumah tangga. Sejak saat itu pula Rozy dan Mufida mencanangkan ‘keluarga maslahat’ sebagai impian ideal rumah tangga mereka. Keluarga maslahat yang dimaksud adalah keluarga yang berguna dan senantiasa mendatangkan kebaikan bagi lingkungannya sesuai dengan ridha Allah SWT.

Ada lima dasar kemaslahatan yang harus dipelihara untuk menciptakan impiannya tersebut, yaitu kebutuhan keselamatan agama, kebutuhan keselamatan akal pikiran, kebutuhan keselamatan jiwa (diri) dan kehormatan, kebutuhan keselamatan keturunan (nasab), dan kebutuhan keselamatan harta benda.

Kelima dasar tersebut, menurut Rozy, merupakan ketatapan mutlak yang kini tengah dipeliharanya. Dengan sepenuh hati, seluruh anggota keluarganya memahami betul fungsi masing-masing. Sebagai seorang suami, misalnya, Rozy membutuhkan dan berkepentingan kepada Hj. Mufida, sang istri, sebagai sosok yang mencintai, mengenal, menghargai, dan menghormatinya.

Pada konteks ini pula, Rozy beranggapan bahwa istri adalah sosok yang harus mematuhi dan setia kepadanya, sosok yang menangani rumah tangga dengan cermat, dan memperlakukan suami sebagai kepala keluarga. Dan hanya kepada sang istri, bibit untuk memperoleh keturunan saleh disemaikan. Istri pun berperan sebagai ibu yang tabah dan bijaksana merawat dan mendidik anak-anaknya ke arah kesempurnaan (insan kamil). “Sejauh ini, alhamdulillah, istri saya merupakan sosok yang sangat ideal,” katanya seraya mengurai senyum.

Sebagai seorang suami, Rozy pun menyadari bahwa sang istri membutuhkan dan berkepentingan kepada dirinya yang mencintai dan mengasihi istrinya, yang mengerti akan harkat kewanitaannya dan menghargai derajat kemanusiaannya. Istri membutuhkan perhatian dan perlindungan suami, sebagai implementasi sikap tanggung jawab atas keluarganya.

Fungsi suami dan istri, sambungnya, akan bersatu saat dikaruniai keturunan. Suami dan istri harus bahu membahu merawat anak-anaknya sejak bayi hingga menjadi remaja, dewasa sampai kemudian berkeluarga. “Itulah role yang benar, dan Insya Allah tengah kami jalani. Bagi kami, anak-anak adalah amanah Allah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya,” paparnya. “dan yang paling penting,” sambungnya, “adalah memperlakukan mereka secara adil!” tegasnya.

Generasi Intelektual dan Sosial

Meski darah Islam tradisional (NU) mengalir dalam tubuhnya, Rozy termasuk sosok liberalis. Dalam pemahamannya, Islam mengajarkan liberalisme dalam mempraktekan perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Namun begitu, koridor berupa Alquran dan Hadits tetap menjadi patokan.

Begitu pula dalam mengelola keluarganya, Rozy pun tak segan untuk menanamkan jiwa kebebasan dalam bertindak dan berpikir kepada ketiga anaknya, Avianto Muhtadi, Beny Syaaf, dan Citra Fitri Agustina. Sejak kecil, Rozy mengarahkan ketiga anaknya masuk bangku sekolah umum, bukan pesantren seperti kebanyakan kalangan nahdliyin. “Saya menginginkan anak-anak dapat memahami penggunaan teknologi. Intinya sih, agar mereka dapat bersaing di era globalisasi,” kata Rozy memberikan alasan.

Sementara pendidikan agama, selain diajarkan oleh Rozy dan istri, ketiga anaknya pun mendapatkan pendidikan agama melalui guru privat. Menurut Rozy, inilah konsep keseimbangan dalam pendidikan. Ketiga anaknya tak boleh tertinggal dalam segala disiplin ilmu, baik ilmu pengetahuan umum maupun ilmu pengetahuan agama.

Dan memang, selain memahami dasar-dasar pendidikan agama, ketiga anaknya pun memiliki kemampuan di bidang lainnya. Inilah bekal yang hingga saat ini telah diimplementasikan di masyarakat. Ketiganya terbiasa membantu di saat beragam bencana dan musibah menimpa masyarakat.

Bahkan, meski masih usia belia, Citra Fitri Agustina, telah terbiasa membongkar pintu rumah penduduk untuk dijadikan sampan saat banjir melanda ibukota beberapa waktu lalu. Derasnya banjir saat itu tak menghalangi tekad Citra untuk tetap membantu masyarakat yang membutuhkan.

Saat tsunami memporak-porandakan Nanggroe Aceh Darussalam, akhir tahun 2004 lalu, ketiga anak Rozy ini bahu membahu bersama ribuan sukarelawan lainnya guna membantu evakuasi para korban. Sebagai Ketua Banser DKI Jakarta, Avianto terjun bersama para sukarelawan dari Banser NU. Sementara Beny menyalurkan bahan bantuan makanan dan obat-obatan dan Citra bersama para dokter memberikan pelayanan kesehatan bagi para korban. “Di saat-saat seperti inilah kami merasakan betapa beruntungnya kami dapat terlibat membantu saudara-saudara ketika tertimpa musibah,” kenang Avianto.



(Disadur dari Majalah Taubah Edisi April 2006, Imam Fathurrohman)

Tidak ada komentar: