Mencipta Generasi Berkualitas


“Dan orang-orang yang berjihad –untuk mencari keridhaan- Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik,” (QS. Al-Ankabut: 69).

*****

Menilik prestasi pribadi yang pernah ditorehkan Dra. Hj. Sri Wahyuningsih, Apt., setiap orang pasti akan berdecak kagum. Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar hingga kuliah di Fakultas Farmasi, Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta, perempuan cantik berkaca mata ini selalu tampil menjadi yang terbaik. Tak hanya di bidang akademik, kesuksesan Ning, begitu biasanya perempuan kelahiran Sragen, 6 Maret 1957, ini biasa disapa, pun terukir pada usahanya kini. Dengan modal seabrek prestasi dan kesuksesan, Ning bertekad mencipta generasi berkualitas dalam rumahnya.

Meski banyak orang tua yang memiliki latar belakang cemerlang, namun belum tentu mampu menularkannya pada anak-anaknya. Hal ini juga disadari Ning dan H. Masrizal A. Syarief, Apt., yang menikahinya pada tanggal 12 Mei 1984. “Pondasi yang saya tanamkan kepada anak-anak adalah keyakinan bahwa Allah itu ada dan Esa. Saya juga tanamkan bahwa kita akan kembali kepadaNya, sehingga hidup yang sebentar ini harus dioptimalkan di jalan yang baik dan benar,” tuturnya membuka pembicaraan dengan TAUBAH yang menyambangi keluarga ini di rumahnya, di kawasan elit Pondok Indah.

Bagi Ning, berprestasi tak melulu soal trofi dan angka-angka. Keluasan pengetahuan dalam segala hal dan mampu mengaplikasikannya untuk kemaslahatan masyarakat menjadi faktor yang begitu penting. Intinya, ketika dirinya berinisiatif untuk memiliki anak-anak yang pintar, maka dirinya pun harus menyiapkan sejumlah ‘jurus jitu’ agar anak-anaknya pun tampil prima di hadapan masyarakat dan Allah SWT.

Jurus jitu yang dimaksud adalah trik dari Ning dan suami agar ketiga anaknya, Prima Yuriandro (21 tahun), Febie Yuriza Putri (18), dan Raisya Yuriafia Putri (8 tahun), menjadi manusia-manusia pilihan yang berguna bagi negara, bangsa, dan agama. Untuk mewujudkannya, ketiga anaknya disekolahkan ke sekolah yang memiliki basis kurikulum Islam.

Dengan belajar di sekolah berbasis kurikulum Islam tersebut, ketiganya pun fasih dalam membaca Alquran. Dalam pergaulan pun mereka bisa membedakan mana yang boleh dan dilarang dalam ajaran Islam.

“Di luar itu, dalam keseharian, saya selalu memberikan contoh, baik dalam tindakan maupun perkataan. Anak-anak bisa melihat sendiri bagaimana saya melaksanakan salat di awal waktu. Saya juga selalu menjaga setiap perkataan agar tidak pernah berbohong di depan anak-anak, meski ada sesuatu yang berat, namun harus dikatakan dengan jujur,” tegas Ning.

Anak-anak Berprestasi

Ketegasan Ning dalam mendidik ketiga anaknya dipraktekkan pula dalam banyak hal. Dirinya tak pernah meluluskan sebuah permintaan dari anak-anaknya, jika mereka belum menunjukan sebuah prestasi yang membanggakan.

Pernah, suatu ketika, Prima minta dibelikan kaset sebuah game. Dengan tegas, Ning memberinya syarat agar Prima mengajari adiknya, Febie, membaca Alquran terlebih dahulu. Setelah Febie bisa, Ning baru mau mewujudkan keinginannya. “Saya tes Febie dulu. Jika dia betul-betul bisa, baru keinginan Prima kita penuhi. Begitu juga dengan pelajaran di sekolah, Prima betul-betul membimbing adiknya,” kisah Ning.

Sikapnya ini, menurut Ning, merupakan sebuah cara agar tertanam rasa persaudaraan yang kuat. Sampai hari ini, sikap kakak ke adik seperti itu masih terus berlanjut. Saat Fia, putri bungsunya, ingin bisa mengoperasikan internet, Ning meminta agar Febie mengajari Fia. Sebagai motivasi, agar anak-anaknya berbuat optimal dan positif, Ning memberi Febie Rp. 25.000,- setiap dua jam untuk mengajari Fia les menggambar, dan Rp. 10.000,- untuk mengajar internet.

Ning dan suami patut bersyukur kepada Allah Ta’ala karena telah diberikan anak-anak yang cerdas dan bertakwa. Ketiga anaknya adalah siswa-siswa teladan di masing-masing sekolahnya. Prima, misalnya, yang tengah menempuh studi di Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, tercatat sebagai mahasiswa pintar dan berprestasi. Saat naik ke tingkat 4, Prima mendapat nilai Indeks Prestasi (IP) 3,88. Sebelumnya, saat naik ke tingkat 3, ia mendapat nilai IP 3,67. “Untuk sebuah jurusan yang sangat kompetitif, nilai IP seperti itu jelas merupakan kebanggaan tersendiri,” tutur Ning dengan bangga.

Kebanggaan itu juga hadir dalam diri Febie dan Fia. Febie yang kini tengah menunggu hasil ujian masuk di FKUI, merupakan anak pintar yang selalu mau tersita waktunya untuk mengajari adiknya, Fia. Di sekolah sebelumnya, Febie tergolong siswi yang memiliki nilai tertinggi.

Lain lagi halnya dengan Fia. Putri bungsu yang cantik ini tergolong anak serba bisa. Meski masih duduk di bangku sekolah dasar, Fia telah memiliki banyak kesibukan. Di antaranya, Fia aktif sebagai presenter di pelbagai acara. Beberapa waktu lalu, gadis cilik itu sudah merampungkan rekaman 16 episode di sebuah stasiun televisi untuk sebuah acara yang dikemas bersama Departemen Pendidikan Nasional. Rencananya, hasil rekaman itu akan diberikan ke sekolah-sekolah sebagai bahan ekstra kurikuler dalam bentuk VCD.

Sementara di stasiun televisi lainnya, Fia tampil dalam program “Fia Sahabatku”. Dalam program tersebut, Fia mengunjungi sahabatnya yang tengah sakit atau membantu sahabat-sahabat di pelosok daerah yang tengah tertimpa musibah. Prestasi lainnya, Fia pernah menjadi nominator AMI Award di tahun 2005. Sebagai seorang penyanyi cilik, Fia juga sudah merilis albumnya dan mendapat respon cukup baik dari masyarakat.

Sejumlah prestasi yang ditorehkan ketiga anaknya, tentu membuat Ning dan suami begitu bangga. Dalam hati yang terdalam, Ning berharap agar kiprah ketiga anaknya mampu bersinggungan langsung dengan masyarakat agar dapat bernilai ibadah. “Bagi saya, anak-anak harus memahami dan mampu menjalankan arti Hablumminallah dan Hablumminannas,” katanya. []

Merengkuh Kekayaan Jiwa

“Tidak disebut kaya karena banyak hartanya, tetapi yang disebut kaya (yang sebenarnya) adalah kekayaan jiwa”. Hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah RA ini, tampaknya, menjadi pedoman penting dalam kehidupan Ning dan seluruh anggota keluarga.

Kekayaan jiwa berarti mau berbagi dengan sesama dan peduli pada lingkungan. Saat ini, banyak orang yang hanya mementingkan diri dan keluarganya tanpa peduli pada sekitar. Ning dan keluarga tak mau terjebak ke dalam golongan orang seperti ini. Ia memiliki cara agar dirinya dan keluarga selalu terasah jiwanya. Salah satunya adalah dengan banyak berbagi rejeki kepada orang-orang tak mampu.

Sementara untuk memberikan pengetahuan tentang berkomunikasi yang baik kepada anak-anaknya, Ning termasuk orang yang pintar mengelola hal ini. Ia dan suami tak segan membawa anak-anaknya untuk ikut dalam setiap kesempatan kerja. “Kadang, ketika mereka libur, saya sering mengajaknya untuk ikut rapat di kantor. Di tengah rapat, anak saya hanya boleh mendengar dan menangkap isi rapat sebagai sebuah wawasan untuk mereka. Di situ, mereka bisa melihat bagaimana Mamanya bekerja dan memimpin sebuah perusahaan,” tutur Ning berbagi resep.

Begitu juga dengan sang suami, jika ia kedatangan tamu, maka salah satu anaknya diajak untuk melihat bagaimana cara papanya berkomunikasi. Untuk sementara, papanya memang lebih sering mengajak Prima yang telah dianggap sudah dewasa dalam urusan bisnis.

Karena sering menemani papanya bertemu rekan bisnis dari luar negeri, maka Prima pun sudah mempersiapkan diri dengan menguasai sejumlah bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris dan bahasa Jerman. “Anak-anak memang kita beri tambahan pengetahuan. Selain bahasa Inggris dan Jerman, mereka juga sudah terbiasa mengenal komputer dan pengetahuan teknologi terkini lainnya,” jelas Ning.

Metode seperti ini, menurut Ning, merupakan cara yang paling sering dilakukannya. Ia dan suami tak perlu memberikan pelajaran dengan banyak bicara, namun dengan contoh dan melibatkan anak-anak. Dengan cara ini, anak-anak akhirnya dapat melihat bahwa apa yang telah dicapai orang tuanya merupakan hasil perjuangan yang cukup panjang.

“Iya. Aku sendiri senang kok kalau sering diajak Mama dan Papa berdialog tentang perjalanan hidup mereka. Aku jadi bisa berkaca dan termotivasi untuk dapat mengikuti langkah mereka,” kata Febie menanggapi metode pendidikan yang diajarkan kedua orang tuanya. []

Ujian dan Rahmat dari Allah

Dalam peta bisnis nasional maupun mancanegara, nama Dra. Hj. Sri Wahyuningsih, Apt. dan H. Masrizal A. Syarief, Apt., sudah tak asing lagi. Bernaung dalam bendera PT. Graha Ismaya, keduanya masuk dalam jajaran pengusaha tersukses. Perusahaan mereka adalah distributor peralatan kedokteran terbaik di negeri ini.

Kesuksesan keduanya, bukanlah tanpa aral. Khusus bagi Ning yang menggerakkan roda perusahaan dari awal, dirinya pernah mendapatkan ujian sekaligus rahmat dari Sang Maha Pencipta. Karena bekerja terlalu keras dan selalu ingin menampilkan kesempurnaan dalam bekerja, dirinya pernah menderita sakit yang sangat parah. “Saya ‘divonis’ menderita penyakit Lupus oleh dokter,” tutur Ning mengisahkan peristiwa yang terjadi di tahun 1994 silam.

Meski hatinya remuk mendengar “vonis” itu, dirinya yakin akan kekuasaan Allah Ta’ala. Selama ini, Ning memang sangat meyakini bahwa kekuasaan Allah di atas segalanya. Keyakinan inilah yang membuatnya bertekad untuk memenuhi panggilanNya pergi ke Baitullah, di tahun yang sama. Ia berangkat bersama suami, bapak, dan ibu mertuanya.

Dengan terus berdzikir mengumandangkan Asma Allah, Ning menahan sakit yang teramat sangat dalam perjalanan sejak berangkat hingga tiba di Mekkah. Ia sangat yakin bahwa Allah betul-betul ada untuknya dan tak akan membiarkannya terus menderita.

Keajaiban dari Allah, akhirnya, betul-betul dirasakan Ning. Saat bertawaf berkeliling Ka’bah, awalnya, Ning dipapah oleh sang suami dan bapaknya. Namun, perlahan-lahan, ia dibiarkan untuk berjalan dengan sendirinya. Saat putaran kedua mengelilingi Ka’bah, keajaiban itu datang. Ia mampu berjalan cepat layaknya orang sehat.

“Subhanallah! Ketika itulah saya benar-benar merasakan kasih sayang Allah. Sejak saat itu, penyakit Lupus yang saya derita berangsur hilang. Saat saya pulang dan diperiksa di laboratorium di Jakarta, saya dinyatakan sembuh,” kisah Ning.

Sebagai rasa syukur, sejak saat itu, dirinya selalu mengajak para karyawan untuk melaksanakan salat Dzuhur dan Ashar berjamah yang ditambah dengan kuliah tujuh menit. Rasa syukur pun ia tampakkan dengan lebih peduli pada lingkungan sekitar dan sejumlah kegiatan Islam. Selain mencari keridhaan Allah, ia pun ingin turut bersyiar menegakkan ajaran yang telah digariskanNya.



(Disadur dari Majalah Taubah Edisi Agustus 2006, Imam Fathurrohman)

Tidak ada komentar: