(3) Perawan Atau Janda Tidak Penting

Praktek poligami yang dilakukan memiliki beragam alasan yang berbeda. Setiap individu yang terlibat di dalamnya pun mengalami beragam kisah dalam menelusuri kehidupan. Getir-getir dalam poligami adalah hal biasa yang juga pasti terjadi pada keluarga dengan monogami.

Dari sekian banyak alasan, muncul pernyataan dari sejumlah pelaku poligami bahwa mereka tidaklah mencari kepuasan seks, melainkan mewujudkan keluarga besar yang sakinah. Namun, ada juga yang blak-blakan bahwa dengan berpoligami, hasrat libidonya yang menggebu dapat disalurkan dengan cara yang baik, lurus, karena mengikuti syariat. Beberapa contoh kisah poligami penulis ambil dari GATRA, Nomor 23 yang beredar Senin 21 April 2003 dan beberapa portal berita lainnya.

Tak Hanya Melepas Hasrat Seks

Bicara poligami, tak mungkin melepaskan nama yang satu ini. Puspo Wardoyo, juragan Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo, merupakan sosok yang sering bersuara lantang jika membicarakan masalah poligami. Menurut pengakuannya, hasrat seksualnya yang menggelora telah memaksanya mengambil empat isteri. Isteri dua atau tiga masih dirasa kurang. ''Bahaya kalau (ketika itu) saya tidak kawin lagi (dan lagi). Saya bisa berzina,'' kata pria yang selalu berpenampilan enerjik itu.

Baginya, dalam memilih isteri muda tidak bisa serampangan. Puspo memiliki syarat-syarat yang sangat ideal: berjilbab, taat beribadah, dan berakhlak bagus. Kebetulan pula semua isterinya cantik dan sarjana.

Kini, kehidupan keluarga besar yang dirancang Puspo pun berjalan lancar dengan 10 anak yang rukun dan bahagia. Puspo menamakan praktek poligami yang dilakukannya dengan sebutan ”Poligami Islami”. Istilah tersebut digunakannya untuk membedakan berpoligami yang melulu berdasarkan nafsu dengan yang berlandaskan agama Islam. Secara lahir-batin, Puspo yang berlebihan materi ini bersikap adil dan menyayangi keempat isteri dan anak-anaknya.

Jodohnya dengan isteri pertama, Rini Purwanti, bertaut di Medan, Sumatera Utara. Waktu itu, sarjana pendidikan lulusan Universitas Sebelas Maret, Solo, Jawa Tengah, ini mengajar di sekolah menengah di sana. Puspo jatuh hati pada Rini, juga seorang guru, lalu menikahinya di sana tahun 1979. Mereka kemudian membuka warung kaki lima di Bandara Polonia, Medan.

Pada 1991 keduanya merintis usaha Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo. Hanya dalam tempo beberapa tahun, cabang baru di kota yang sama mereka buka. Tahun 1996, Puspo mengawini Supiyati yang ketika itu berusia 26 tahun, karyawan restorannya. Keduanya menikah tanpa sepengetahuan isteri pertama. Kata Puspo, bukan karena Rini menolak poligami, melainkan begitulah pesannya.

”Sebagai muslimah, saya menerima kehalalan poligami. Cuma, waktu itu saya belum siap. Saya bilang, Mas Puspo kalau mau nikah (lagi) langsung saja, tak usah memberitahu saya,” tutur Rini. Ibu enam anak ini baru tahu dimadu, enam bulan kemudian. Ia sempat menangis. Tapi akhirnya berlapang dada. Malah, ia menemani suami dan madunya itu mencatatkan perkawinan ke kantor urusan agama.

Ketika Supiyati memberinya seorang anak, setahun kemudian Puspo menikah lagi. Ia berjodoh dengan Anisa Nasution, 24 tahun, juga karyawan restorannya di Medan. ”Saya pilih Mas Puspo karena akhlaknya baik dan keluarganya rukun,” kata Anisa.

Seiring dengan restoran ayam bakarnya yang berkembang menjadi empat cabang, Puspo bertambah yakin bahwa setiap perkawinannya membawa rezeki. Dan pada 1999, ia mengawini isteri keempat, Intan Ratih yang dipilih isteri keduanya. Kali inipun isterinya keempat adalah karyawan restorannya, cabang Semarang, Jawa Tengah. Dari isteri ketiga dan keempat, Puspo memperoleh masing-masing satu dan dua anak. Jumlah anaknya kini 10. Restorannya pun beranak-pinak menjadi 26 cabang di kota-kota besar.

Keempat isteri Puspo tidak tinggal serumah. Isteri pertama dan kedua menetap di Medan. Isteri ketiga di Bumi Serpong Damai, Tangerang, Banten. Sementara isteri keempat di Puri Bintaro, Tangerang. Keemapatnya berlimpah materi dari sang suami. Mereka tidak terlibat dalam bisnis restoran, cuma mengawasi standar bumbu masakan.

Dalam setiap kesempatan, Puspo berusaha bersikap adil, termasuk soal pembagian waktu kunjungan. Sepuluh hari di Medan, 10 hari di Tangerang. Sesekali keempat isterinya diajak kumpul bersama mempererat silaturahmi. Kadang ramai-ramai dibawa dalam seminar poligami. Keempat isterinya bertambah akrab dengan sejumlah jurus yang digunakan Puspo. Ia pun tak keberatan jika suatu saat nanti anaknya dipoligami orang.


Perawan Tak Penting

Impian memiliki keluarga besar yang sakinah tak hanya milik Puspo Wardoyo. Mohamad Rizal Chatib, Direktur Grup Rufaqa --holding dari PT Hawariyun-- ini juga punya impian yang sama dengan keempat isterinya. Semuanya rukun dan patuh pada sang suami.

Menurut Rizal Chatib, apa yang dilakukannya merupakan jodoh yang tak bisa dihindari. Bukan sekadar seks. ”Bukan saya yang merancang. Kalau bukan jodoh, ya, tak jadi,” katanya.

Rizal juga tidak mensyaratkan macam-macam pada jodohnya. Isteri keempatnya, Andi Suaibah, misalnya, adalah janda dengan seorang anak. Suaibah dinikahi Rizal pada 2001 atas prakarsa isteri sejawatnya.

Suaibah yang menetap di Jakarta, bahagia menjadi isteri keempat. Ia melihat poligami tidak merendahkan wanita. Malah menguntungkan. Sebab, adakalanya bisa terbebas dari tugas keseharian melayani suami dan anak.

Rizal pertama kali menikah pada 1986. Dia meminang Sufiah, asal Bukittinggi, Sumatera Barat. Perkawinan ini dikaruniai lima anak. Sepuluh tahun berselang, Rizal menikahi Athirah, wanita Aceh, yang memberinya seorang keturunan. Tahun 1999, ia memperisteri Kamariah, perempuan asal Malaysia, yang memberinya seorang anak. Ketiga isterinya ini menetap di Pekanbaru, Riau. Mereka mengelola boarding school milik Grup Rufaqa.


Tinggal Seatap

Sejawat Rizal di Rufaqa, Dr. Abdurahman Riesdam Efendi, juga sukses berpoligami. Wakil Presiden Grup Rufaqa itu punya empat isteri, dan memperoleh empat anak. Ia menikahi Dr. Gina Puspita, teman kuliah di ITB, sebagai isteri pertama. Mereka dikarunia tiga anak. Tahun 1995, ia kawin dengan Basyiroh Cut Mutia yang memberinya seorang anak. Enam tahun berselang, ia kawin lagi dengan Siti Salwa asal Malaysia dan kemudian menikah lagi dengan Fatimah.

Ketiga isteri mudanya ini merupakan pilihan isteri pertama. Mereka rukun dan bahagia. Kebetulan mereka bekerja di kantor yang sama. Malah mereka menetap serumah, di Taman Rempoa Indah, Ciputat, Tangerang. ”Kalau suami sedang bersama isteri yang lain, kami bertiga ngobrol-ngobrol di satu kamar,” tutur Gina. Bila berada di luar kota, mereka bertukar pesan lewat SMS. Pokoknya, akrab. ”Poligami yang didasarkan pada Allah SWT tidak akan menimbulkan masalah,” Gina menambahkan.

Wapres Hamzah Haz Juga Berpoligami

Dari kalangan pejabat negara, nama mantan wakil presiden RI Hamzah Haz menjadi sorotan publik. Hamzah diketahui punya tiga isteri yang hidup rukun dan damai. Paling tidak, itu diakui isteri ketiganya, Soraya Smith, yang bersikap cukup terbuka. ”Hubungan kami (sesama isteri) baik-baik saja. Demi Allah, mereka sangat baik. Benar-benar tidak ada problem,” kata Soraya, seperti yang diberitakan GATRA.

Isteri pertama Hamzah bernama Asmaniah, kelahiran Pontianak, Kalimantan Barat, 27 Juli 1942. Dia menetap di Jalan Tegalan, Jakarta Timur, rumah yang dihuni Hamzah sejak 1982. Isteri kedua, Titin Kartini, kelahiran 4 Mei 1946, tinggal di Bogor, Jawa Barat. Dari kedua isteri ini, Hamzah memperoleh 12 anak, sembilan di antaranya dari isteri pertama.

Isteri ketiga, Soraya Smith, kelahiran Lampung, 17 Oktober 1963. Soraya dan Hamzah menikah sebelum Hamzah menjabat wapres. Hamzah tadinya pasien Soraya, yang sudah lama membuka semacam klinik pengobatan alternatif. Si pasien yang menderita sakit di ulu hati ternyata punya masalah dengan terapi sentuh sang ”tabib” yang tujuh tahun menjanda itu. Ia tak bersedia disenggol perempuan bukan muhrim. Sebagai jalan keluar, mereka harus menikah.

”Pak Hamzah baik sekali. Saya yang memintanya menjadi muhrim saya, dan Bapak (Hamzah) bersedia,” tutur Soraya. ''Saya bercita-cita punya suami ketiga sekaligus isteri ketiganya. Saya berdoa, mudah-mudahan mendapat jodoh. Alhamdulillah, tercapai juga,” ia menambahkan.

Soraya yang juga merupakan pengusaha di banyak bidang --antara lain garmen, marmer, dan hasil bumi-- ini menuturkan, Hamzah berusaha membagi waktu untuk isteri-isterinya secara adil. Minggu pertama full untuk isteri pertama. Minggu kedua, Sabtu dan Minggu, bersama isteri kedua. Pada minggu ketiga, juga Sabtu dan Minggu, giliran kumpul dengan isteri ketiga.

Soraya mengatakan dirinya tidaklah memikirkan seks saja. Ia bahagia dengan kondisi seperti itu. Apalagi, katanya, sang suami sering berucap, ”Aku paling bahagia punya isteri patuh-patuh padaku.” Kata Soraya, ”Kebahagiaan dan kasih sayang itu nomor satu, bukan nafsu. Kuncinya: anak, ibadah, dan kuat menerima takdir. Dinikmati saja hidup ini.”

Bahagia di Hari Tua

Debby Nasution agaknya juga berprinsip seperti Hamzah Haz dan Rizal: janda pun tak mengapa, yang penting jodoh. Debby, pemusik dan mubalig, menjadikan Sitoresmi sebagai isteri keempatnya, pada 1996. Sito yang sudah dua kali menjanda, mula-mula menjadi janda budayawan W.S. Rendra, pada 1979. Ketika itu, ia menjadi isteri kedua Rendra (dari tiga isteri).

Sepuluh tahun berselang, ia menikah dengan Sjukri Fadholi, seorang ulama. Perkawinan kedua ini pun kandas pada 1996. Tak lama setelah masa ’idah rampung, ia tak keberatan dilamar Debby Nasution --dua isterinya telah meninggal. Perempuan bernama lengkap Hajah Raden Ayu Sitoresmi Prabudiningrat itu mengaku amat bahagia di hari tuanya. Ia termasuk orang yang lantang mendukung poligami. ”Saya siap kalau Bang Debby menikah lagi,” kata perempuan selalu terlihat cantik ini.


Poligami ''Irit''

KH. Noer Muhammad Iskandar, SQ, termasuk penganut poligami ''irit''. Pengasuh Pondok Pesantren Asshidiqiyah itu baru punya dua isteri: Nur Jazilah dan Khusnul Khotimah. Hidup berpoligami dilakoninya sejak 1993. Atas anjuran isteri pertama yang merasa tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai isteri secara sempurna, ia menikahi Khusnul, janda berusia 27 tahun. Tentu atas dukungan empat anaknya, serta keluarga isteri pertama.

”Dengan bismillah, semuanya dilalui dengan lancar,” kata mantan anggota Fraksi Kebangkitan Bangsa DPR-RI itu. Ia merasa happy. Khusnul Khotimah diberi jabatan sebagai pengasuh 2.000-an santri di Pesantren Asshidiqiyah Batuceper, Tangerang. Nur Jazilah menjadi pengasuh 1.500-an santri di Pesantren Asshidiqiyah Pusat di Kedoya, Jakarta Barat. Mereka mendapat materi cukup dari suami. Keduanya diberi rumah dan mobil.

Soal membagi waktu? Noer Iskandar berusaha seadil-adilnya. Pada pribadi kedua isterinya, ia menanamkan pengertian bahwa membagi kasih adalah ibadah dunia-akhirat, sehingga tidak ada keinginan monopoli di satu pihak. Kiai kondang itu menyediakan waktu tiga hari berselang kepada kedua isterinya. Uniknya, bila ia lupa jadwal kumpul, kedua isterinya bergantian mengingatkannya. Untuk lebih mempererat silaturahim, setidaknya dua bulan sekali kedua isterinya dipertemukan dalam rapat di yayasan. Walhasil, kedua isteri itu rukun dan akrab.

Poligami Butuh Keberanian

Dalam benak Kiwil, berpoligami atau beristeri lebih dari satu membutuhkan keberanian. “Yang penting keberanian,” kata Kiwil saat menanggapi wartawan yang menanyakan kemungkinan dibentuknya trio poligami beranggotakan dirinya, Parto, dan Akri, yang sama-sama berpoligami.

Menurut Kiwil, wanita adalah ciptaan Tuhan yang harus disyukuri kehadirannya sebagai pendamping pria. Karena itu, ia bersyukur mendapat isteri lebih dari satu. Pelawak yang mengaku memulai karier sebagai tukang pisang bakar di kantor rumah produksi E-Komando milik Eko "Patrio" itu juga menyatakan, seorang pria harus memiliki dua hal pokok lainnya sebelum memutuskan berpoligami, selain keberanian. "Harus cerdas dan memiliki kemampuan (memberi nafkah lahir dan batin, Red)," ujar suami Rohimah (isteri pertama) dan Meggy Wulandari (kedua) tersebut.

Jangan melakukan jika tak tahu ilmunya

Waktu pertama melakukan poligami, yang terbesit dalam benak Qomar, dai dan pelawak, adalah ingin mengembangkan keturunan. Namun apa yang terjadi, setelah poligami berjalan, isteri tuanya menggugat cerai.

Hubungan antara isteri pertamanya, Dwi Kurnia Wulyadi dengan Nenden Garnika pun memburuk. Namun petualangan poligami Qomar tak berhenti sampai di situ saja. Pemilik nama lengkap Drs. H. Nurul Qomar ini tetap meneruskan aksi poligaminya. Bahkan Qomar menikah sebanyak empat kali. Namun akhirnya pengalaman menyadarkannya bahwa poligami membutuhkan syarat-syarat ketat.

“Jangan pernah melakukan poligami kalau nggak tahu ilmunya. Harus tahu syarat-syaratnya. Antara lain harus bersikap adil, mampu secara emosional, finansial, intelektual, dan spiritual,” ucap Qomar.

Saat pertama melakukan poligami, Qomar mengaku sangat susah untuk membagi waktu dengan isteri-isterinya. Aksi protes dan saling cemburu pun menjadi menu sehari-harinya. “Wah, ribet banget. Apalagi saya belum mapan dan menguasai ilmu poligami. Sekarang sih sudah membaik. Saling silaturrahim, saling telepon-teleponan juga,” bebernya.

Balasannya di Surga

Anny Muryadi mengaku tak pernah menyesal dengan keputusannya untuk menikahi Farhat Abbas yang sudah beristeri. Anny menikah dengan Farhat pada 19 Mei 2005, kemudian bercerai lantaran Nia Daniati menolak dipoligami. Farhat lantas menceraikan Anny lewat telepon, “Perjalanan hidup ada proses, ada yang cocok ada yang tidak. Hidup ada suka ada duka,” ucapnya.

Baginya, poligami tak perlu diperdebatkan karena sudah di atur dalam Alquran. Anny menjelaskan, dari dulu tidak keberatan dengan poligami. Meski tak keberatan, namun dia menyarankan persolan itu harus dilihat secara keseluruhan.

Menurut lulusan UI tahun 1983 ini, kalau isteri keberatan suami menikah lagi, hanya ada dua pilihan: pertama dia ikhlas dengan kenyataannya bahwa suami punya isteri lagi. “Sakit memang, tapi balasannya surga,” ujarnya.

Kedua, jika keberatan lantas mengajukan perceraian, itu hak wanita. “Yang jelas, wanita tak boleh bilang anti poligami. Itu artinya menentang Alquran. Tapi kalau tidak mau dipoligami itu hak manusia. Tapi, itu kembali hak wanita bisa menerima atau tidak,” tegasnya.

“Kalau akhirnya saya ribut-ribut, karena apa? Karena kita jadi korban. Saya, Lala, dan Nia jadi korban. Ketika saya jadi korban, saya mundur. Karena saya tidak mau terlibat dalam masalah yang tidak ada akhirnya,” terangnya.

Anny berdalih, ia menikah dengan Farhat untuk menghindari zina. “Saya menikah dengan Farhat karena takdir Allah. Saya harus cerai itu juga karena takdir,” tambahnya.

Membagi Kasih a la Peraih Poligami Award

Tulisan yang disadur dari Jawa Pos yang bertanggal 31 Juli 2003 ini bercerita tentang kisah kasih KH. M. Thoyib Abu Hanifah dalam membagi kasih sayang dengan keempat isterinya.

Pada usianya yang uzur, 93 tahun, suara Haji Thoyib -sapaan KH M. Thoyib Abu Hanifah- masih sangat jelas didengar. Walau badannya sudah membungkuk untuk urusan jalan, Haji Thoyib tak perlu dipapah ataupun dituntun. Pandangan matanya pun masih cukup jelas.

Kegagahan dirinya semakin lengkap, karena meski usianya mendekati satu abad, Thoyib memiliki empat isteri resmi. Bahkan, kalau mau dirinci, bukan hanya 4 perempuan itu yang telah disunting veteran pejuang 45 ini. Thoyib telah menikahi 7 perempuan sejak 1945. Memang, tak semua isterinya tersebut akhirnya mau menemani dia. Sekarang hanya empat perempuan yang bersedia menemani pendiri Majelis Taklim Zawiyatul Abror di Bogor itu.

Karena "prestasinya" itulah, dia mendapat Poligami Award yang diprakarsai Puspo Wardoyo. Thoyib dianggap mampu menjaga kerukunan dan keadilan bagi isteri dan keluarganya. "Bukan saya yang nyari, mereka yang datang. Saya tanya mau, ya udah. Kalau nggak mau, ya nggak apa-apa," akunya sambil terkekeh memulai kisahnya.

Semua perempuan yang diperisteri Thoyib tidak melalui proses pacaran layaknya anak muda yang tengah jatuh cinta. Setelah berkenalan dan mau diajak menikah, Thoyib langsung meminang dan menikahi sang perempuan tersebut. "Rabu kenal, Sabtu saya nikahi. Gitu aja. Kalau pakai pacaran, nanti zina. Semuanya nggak lebih dari 3 hari, langsung saya nikahi," ungkapnya bangga.

Thoyib menuturkan, pada 1945 dia menikah dengan isteri pertamanya, Sukarti. Darinya, Thoyib dikaruniai dua anak. Pada 1950, saat dirinya kembali dari Yogyakarta, teman seperjuangan Thoyib meninggal. Temannya tersebut meninggalkan seorang isteri bernama Murni. Karena kasihan dan ingin menolong isteri temannya, dia pun menikahi Murni.

Saat itu Thoyib mengaku benar-benar berniat menolong. Tak bertepuk sebelah tangan, Murni ternyata mau dipinang. Dari pernikahan dengan Murni, Thoyib mendapatkan 8 anak.

Setelah beberapa tahun mempunyai dua isteri, Thoyib bertemu Sukaesih dari Sukabumi. Hati pria yang sudah beristeri dua itu pun tertambat dan menikah pada 1960-an. Dari isteri terbaru ini, Thoyib dikaruniai empat anak.

Saat itu semua dilalui Haji Thoyib dengan sempurna. Artinya, semua isterinya bisa menerima kehadiran isteri baru. Hebatnya, untuk menikahi isteri baru, Thoyib tidak meminta izin kepada para isterinya terdahulu.

"Nikahi dulu, baru minta izin. Niat kita kan baik, beribadah juga kan," kilah orang tua yang lupa jumlah cucu dan cicitnya ini.

Walau sudah punya tiga isteri, keinginan untuk beristeri lagi ternyata tak pupus. Pada 1972, Thoyib kembali menggaet seorang perempuan bernama Titin. Dia dinikahi pada saat sudah berumur 40 tahun.

Berbeda dengan proses sebelumnya, kehadiran Titin ternyata berlangsung tidak mulus. Sukaesih, isteri ketiganya, tidak terima. Wanita ini kemudian memilih meninggalkan Thoyib. "Nggak mau menerima, ya sudah," ungkapnya.

Disebutkan bahwa Murni pun sudah tidak lagi berkumpul dengannya. Thoyib tak bersedia menjelaskan alasannya. Sedangkan Sukarti meninggal pada 1994 lalu. Nah, kini di antara empat isteri yang dinikahi sebelum 1970-an itu, tinggal Titin yang bersamanya.

Pada akhir 1970-an, Thoyib berkenalan dengan Chotifah, 41 tahun yang saat itu datang ke rumah Thoyib mengantarkan ibunya untuk berobat. Saat itu, pria ini memang dikenal bisa menyembuhkan penyakit. Perkenalan singkat terjadi. Setelah dipinang, Chotifah tak keberatan menjadi isterinya dan kini dikaruniai dua anak. Tiga tahun setelah itu, Thoyib menikah lagi dengan Rohmah, 39, yang kemudian menyumbangkan tiga orang anak.

Didampingi tiga isteri ternyata belum cukup. Pada 1991 Thoyib menikah lagi dengan Ade, 31 tahun. Dari isteri termudanya ini, dia memperoleh empat anak. "Setelah Ade, sudah cukuplah," kata pria kelahiran Jakarta, 15 Juni 1918 itu sambil tersenyum.

Jadi, jika ditotal, anak Thoyib dari tujuh isterinya adalah 23 orang. Cucunya? "Jangan tanya. Saya sudah tidak bisa menghitungnya," tuturnya terkekeh. Demikian juga jumlah cicitnya.

Thoyib mengaku selalu berusaha bersikap adil kepada keempat isterinya. Saat menghadiri undangan pernikahan, misalnya, ia selalu mengajak semua isterinya. Karena itu, kehadiran Thoyib selalu menjadi perhatian. "Yang hadir lebih memperhatikan saya daripada pengantinnya," tutur Thoyib sambil terkekeh.

Begitu tiba di tempat hajatan, selalu muncul celetukan, selamat datang rombongan Haji Thoyib. "Jadi bukan lagi pasangan. Yah soalnya yang mendampingi saya memang satu rombongan," kata pria yang mempunyai 23 anak itu.

Para isterinya dibekali amplop untuk kondangan. Empat isteri berarti empat amplop yang isinya harus sama. Tak boleh ada yang lebih. "Kalau gocap (Rp 50 ribu), ya gocap semua. Kalau jigo (Rp 25 ribu), ya jigo semua. Pokoknya adil," selorohnya.

Keadilan menjadi faktor paling penting. Soal pembagian harta kepada keempat isterinya, Thoyib juga mengaku berusaha seadil-adilnya. Mereka mendapatkan rumah yang sama. Berlantai dua dan luasnya sekitar 100 meter persegi. Warna cat rumah juga dibuat sama. Isi rumah pun dibuat persis. Perabot dapur, kursi tamu, hingga televisi dibelikan dengan merek yang sama.

Namun, tidak jarang ada isteri Thoyib yang merasa tidak cocok dengan barang pemberiannya. Padahal, dia sudah telanjur membeli empat pasang. Bila ada kasus seperti itu, Thoyib langsung mengganti barang isterinya yang komplain. Dengan cara seperti itu, tak ada isteri lain yang iri.

Meski Thoyib pun secara bergilir mengunjungi isteri-isterinya tersebut, namun ia tidak mempunyai jadwal tetap. Bila malas mengunjungi mereka, ia memanggil isterinya satu per satu. Keempat isterinya selalu setia melayani Thoyib. Mereka bahu-membahu jika melihat sang suami tercintanya tergolek sakit di tempat tidur. Thoyib mengisahkan, ketika dia sakit dan tidak bisa bangun, semua isterinya mau merawatnya. Bahkan, untuk urusan mengantar buang air besar, keempat isterinya mau melakukannya.

"Nggak ada yang ngiri siapa yang harus mengantar atau membersihkan kotoran saya. Pokoknya semua mau melayani saya," ujar pejuang '45 yang pernah dituduh terlibat DI/TII dan terpaksa dijebloskan ke Nusakambangan selama empat tahun itu. Melihat keempat isterinya rukun dan bersahabat, hati Thoyib bahagia.

Untuk menjaga keharmonisan rumah tangga besar tersebut, Thoyib memiliki resep jitu: berzikir dan bersikap adil. Dia pun mengaku, semua isterinya tidak pernah berebut masalah harta. "Semuanya rukun. Nggak ada yang iri. Yang namanya adil itu kan, ya semampu saya," katanya.

Sadar bahwa umurnya sudah uzur, Thoyib pun sudah menyiapkan surat wasiat jika nanti dirinya dipanggil Yang Mahaesa. Di situ dia membagi rata hartanya kepada keempat isteri, anak-anak, cucu, dan cicitnya. Dia juga tidak mau kerukunan keempat isteri dan anak-anaknya hanya tercipta saat dirinya masih berada di dunia.

Thoyib memang sudah merasa berbuat adil. Tapi, tidak selamanya para isteri menerima. Walau semua isterinya tampak rukun dan bersahabat, ada kalanya mereka mengaku cemburu. Bagaimana juga perasaan wanita lebih tajam dalam menyikapi suatu peristiwa. Hal itu pernah dialami Hj Chotifah, isteri kedua Thoyib.

Saat itu Thoyib berkeinginan meminang Hj. Rohmah, isteri ketiga, pada 1982. Seperti biasanya, Thoyib tidak akan memberi tahu isterinya terlebih dahulu jika mau menikah. Baru setelah menikah, dia memberi tahu isteri-isterinya. Ternyata Chotifah sudah mencium niat Thoyib yang ingin menikahi Rohmah. Sebagai perempuan, awalnya Chotifah, isteri yang dinikahi pada 1979, tidak terima atas kondisi tersebut.

"Saya tahu dari temannya kalau bapak ternyata sudah menikah lagi," kata Hj Chotifah. Akhirnya dia pun menemui Hj Rohmah. Bukan untuk melabrak, melainkan hanya untuk mengklarifikasi apakah berita itu benar. Setelah bertemu Hj Rohmah, hati Hj Chotifah kembali dingin dan bisa menerima semuanya. "Nggak ada emosi. Saya akui ada sih perasaan jengkel dalam hati saya, tapi nggak saya keluarin," aku Hj Chotifah.

(Sumber: Buku "Tak Ingin Poligami Tapi Harus Poligami", Imam Fathurrohman)

Tidak ada komentar: