(1) Poligami: Sudah Ada Sejak Baheula

Fenomena poligami bukan sesuatu yang baru dalam ranah Islam. Masyarakat Indonesia yang mayoritas menganut agama Islam, menjadikan poligami sebagai wacana yang terus diperbincangkan. Terlebih lagi ketika Poligami Award dicanangkan pada 2003 silam oleh Puspo Wardoyo, pemilik Restoran Ayam Bakar Wong Solo, yang juga memiliki empat isteri.

Di kalangan public figure pun poligami menjadi sesuatu yang lumrah. Sejumlah selebritas di pentas politik maupun entertainment banyak yang menganut sistem pernikahan seperti ini. Mantan Wakil Presiden RI Hamzah Haz, Raja Dangdut Rhoma Irama merupakan ikon dalam kategori ini.

Sejumlah literatur Islam mencatat, poligami sudah ada jauh sebelum zaman kedatangan agama Islam. Bahkan boleh dikatakan bahwa poligami itu bukan semata-mata produk syariat Islam. Jauh sebelum Islam lahir di tahun 610 Masehi, peradaban manusia di penjuru dunia sudah mengenal poligami, menjalankannya, dan menjadikannya sebagai bagian utuh dari bentuk kehidupan wajar. Boleh dibilang bahwa tidak ada peradaban manusia di dunia ini di masa lalu yang tidak mengenal poligami.

Dalam rentang peradaban manusia yang demikian panjang, sejarah mencatat bahwa poligami telah dikenal dalam bentuk yang sangat mengerikan. Dahulu, seorang laki-laki tak hanya memiliki empat isteri, tapi puluhan, bahkan ratusan isteri!

Perjanjian Lama, kitab suci orang Yahudi menginformasikan bahwa Daud memiliki 300 orang isteri, baik yang menjadi isteri resminya maupun selirnya. Begitu pula dengan raja-raja di Jawa yang terbiasa dengan memiliki lebih dari satu isteri. Sesungguhnya, poligami telah menjadi life style yang diakui dan berjalan dengan lancar di pusat-pusat peradaban manusia.

Bahkan bisa dikatakan bahwa hampir semua pusat peradaban manusia (terutama yang maju dan berusia panjang), telah mengenal poligami dan mengakuinya sebagai sesuatu yang normal dan formal. Para ahli sejarah mendapatkan bahwa hanya peradaban yang tidak terlalu maju saja dan tidak berusia panjang yang tidak mengenal poligami.

Peradaban maju seperti Ibrani yang melahirkan bangsa Yahudi telah mengenal poligami sebagai sesuatu yang biasa. Begitu juga dengan peradaban Shaqalibah yang melahirkan bangsa Rusia. Termasuk juga negeri Lituania, Ustunia, Chekoslowakia dan Yugoslavia, semuanya sangat mengenal poligami. Masih ditambah lagi dengan bangsa Jerman, Swis, Saksonia, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia, Norwegia dan tidak terkecuali, Inggris.

Jika kita merunut pada kenyataan sejarah di atas, maka jelas bahwa poligami bukan hanya produk hukum Islam. Bangsa Arab sebelum masa kedatangan Islam pun mengenal poligami. Dalam salah satu hadits disebutkan bahwa ada seorang masuk Islam dan masih memiliki 10 orang isteri. Lalu oleh Rasulullah SAW diminta untuk memilih empat saja dan selebihnya diceraikan. Beliau bersabda: Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda, ”Pilihlah empat orang dari mereka dan ceraikan sisanya,” (HR At-Tirmidzy dan Ibnu Majah).

Poligami adalah produk manusia yang hingga kini pun masih tetap diakui oleh negeri dengan sistem hukum yang bukan Islam seperti Afrika, India, China dan Jepang. Poligami adalah produk kemanusiaan dan produk peradaban besar dunia. Islam hanyalah salah satu yang ikut di dalamnya dengan memberikan batasan dan arahan yang sesuai dengan jiwa manusia.

Islam datang dalam kondisi di mana masyarakat dunia telah mengenal poligami selama ribuan tahun dan telah diakui dalam sistem hukum umat manusia. Justru Islam memberikan aturan agar poligami itu tetap selaras dengan rasa keadilan dan keharmonisan.

Islam mensyaratkan adanya keadilan dan kemampuan dalam nafkah. Begitu juga Islam sebenarnya tidak membolehkan poligami secara mutlak, sebab yang dibolehkan hanya sampai empat orang isteri. Dan segudang aturan main lainnya sehingga meski mengakui adanya poligami, namun poligami yang berkeadilan sehingga melahirkan kesejahteraan.

Poligami Menurut Syariah Islam

Poligami atau dikenal dengan ta`addud zawaj, menurut Ustadz Ahmad Sarwat, Lc., pada dasarnya dihukumi mubah atau boleh. Bukan wajib juga bukan sunnah (anjuran). Karena pelaku poligami disyaratkan harus adil, sementara keadilan itu tidak dimiliki semua orang. Allah SAW berfirman:

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yang yatim, maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya,” (QS. An-Nisa: 3).

Syarat utama poligami adalah adil terhadap isteri, baik dalam nafkah lahir batin, atau pun dalam perhatian, kasih sayang, perlindungan serta alokasi waktu. Jangan sampai salah seorang isteri tidak diberi dengan cukup. Apalagi jika semua isteri tidak diberi cukup nafkah, maka hal itu adalah kezaliman.

Sebagaimana hukum menikah yang bisa memiliki banyak bentuk hukum, maka begitu juga dengan poligami. Hukumnya sangat ditentukan oleh kondisi seseorang, bahkan bukan hanya kondisi dirinya tetapi juga menyangkut kondisi dan perasaan orang lain, dalam hal ini bisa saja isterinya atau keluarga isterinya. Pertimbangan orang lain ini tidak bisa dimentahkan begitu saja dan tentunya hal ini sangat manusiawi sekali.

Teks-teks hadits poligami pun pada dasarnya mengarah kepada kritik, pelurusan, dan pengembalian pada prinsip keadilan. Dari sudut ini, pernyataan sebagian orang bahwa poligami itu sunah sangat bertentangan dengan apa yang disampaikan Rasulullah Saw. Apalagi dengan melihat pernyataan dan sikap Nabi yang sangat tegas menolak poligami Ali bin Abi Thalib ra.

Namun anehnya, teks hadits ini jarang dimunculkan kalangan propoligami. Padahal, teks ini diriwayatkan para ulama hadits terkemuka: Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibn Majah.

Nabi SAW marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti Muhammad Saw., akan dipoligami Ali bin Abi Thalib ra. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: ”Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga.” (Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadits: 9026).

Apa yang disabdakan Rasulullah Saw. merupakan representasi dari kegundahan hati seorang ayah. Bukankah setiap orangtua tidak akan rela jika putrinya dimadu? Seperti yang dikatakan Nabi Saw., poligami akan menyakiti hati perempuan, dan juga menyakiti hati orangtuanya.

Selain perimbangan perasaan, yang menjadi syarat paling utama dalam pertimbangan poligami adalah masalah kemampuan finansial. Bukankah ketika seorang suami memutuskan untuk menikah lagi, maka yang harus pertama kali terlintas di kepalanya adalah masalah tanggung jawab nafkah dan kebutuhan hidup untuk dua keluarga sekaligus? Nafkah tentu saja tidak berhenti sekedar bisa memberi makan dan minum untuk isteri dan anak, tapi lebih dari itu, bagaimana dia merencakan anggaran kebutuhan hidup sampai kepada masalah pendidikan yang layak, rumah dan semua kebutuhan lainnya.

Merumuskan Keadilan

Ketentuan keadilan dalam poligami, sebenarnya pada garis-garis umum saja. Karena bila semua mau ditimbang secara detail pastilah tidak mungkin berlaku adil secara empiris. Karena itu dibuatkan garis-garis besar seperti maslaah pembagian jatah menginap. Menginap di rumah isteri harus adil. Misalnya sehari di isteri tua dan sehari di isteri muda. Yang dihitung adalah malamnya atau menginapnya, bukan hubungan seksualnya. Karena kalau sampai hal yang terlalu mendetail harus dibuat adil juga, akan kesulitan menghitung dan menimbangnya.

Secara fithrah, umumnya, kebutuhan seksual laki-laki memang lebih tinggi dari wanita. Dan kemampuan seksual laki-laki memang dirancang untuk bisa mendapatkan frekuensi yang lebih besar dari pada wanita.

Nafsu birahi setiap orang itu berbeda-beda kebutuhannya dan cara pemenuhannya. Dari sudut pandang laki-laki, masalah “kehausan” nafsu birahi sedikit banyak dipengaruhi kepada kepuasan hubungan seksual dengan isteri. Bila isteri mampu memberikan kepuasan skesual, secara umum kehausan itu bisa terpenuhi dan sebaliknya bila kepuasan itu tidak didapat, maka kehausan itu bisa-bisa tak terobati. Akhirnya, menikah lagi sering menjadi alternatif solusi.

Umumnya laki-laki membutuhkan kepuasan seksual baik dalam kualitas maupun kuantitas. Namun umumnya kepuasan kualitas lebih dominan dari pada kepuasan secara kuantitas. Bila terpenuhi secara kualitas, umumnya sudah bisa dirasa cukup. Sedangkan pemenuhan dari sisi kuantitas saja sering tidak terlau berarti bila tidak disertai kualitas, bahkan mungkin saja menjadi sekadar rutinitas kosong. Lagi-lagi menikah lagi sering menjadi alternatif solusi.

Secara fisik, terkadang memang ada pasangan yang agak ekstrim. Di mana suami memiliki kebutuhan kualitas dan kuantitas lebih tinggi, sementara pihak isteri kurang mampu memberikannya baik dari segi kualitas dan juga kuantitas. Ketidak-seimbangan ini mungkin saja terjadi dalam satu pasangan suami isteri. Namun biasanya solusinya adalah penyesuaian diri dari masing-masing pihak. Di mana suami berusaha mengurangi dorongan kebutuhan untuk kepuasan secara kualitas dan kuantitas. Dan sebaliknya isteri berusaha meningkatkan kemampuan pelayanan dari kedua segi itu. Nanti keduanya akan bertemu di satu titik.

Tapi kasus yang ekstrim memang mungkin saja terjadi. Suami memiliki tingkat dorongan kebutuhan yang melebihi rata-rata, sebaliknya isteri memiliki kemampuan pelayanan yang justru di bawah rata-rata. Dalam kasus seperti ini memang sulit untuk mencari titik temu. Karena hal ini merupakan fithrah alamiah yang ada begitu saja pada masing-masing pihak. Dan kasus seperti ini adalah alasan yang paling logis dan masuk akal untuk terjadinya penyelewengan, selingkuh, prostitusi, pelecehan seksual dan perzinahan.

Untuk mengantisipasi terjadinya kasus asusila tersebut, jauh-jauh hari Islam membuka pintu untuk poligami dan menutup pintu ke arah zina. Dari pada zina yang merusak nilai kemanusiaan dan harga diri manusia, lebih baik kebutuhan itu disalurkan lewat jalur formal dan legal, yaitu poligami.

Sayangnya, masyarakat dewasa ini lebih mengedepankan ego dibanding rasionalitas. Poligami dianggap hina dan buruk, sementara perselingkuhan dan perzinahan dianggap sesuatu yang lumrah. Begitu juga hukum positif di banyak negeri umumnya cenderung menganggap poligami itu tidak bisa diterima. Sebuah ironi, bukan?

(Sumber: Buku "Tak Ingin Poligami Tapi Harus Poligami", Imam Fathurrohman)

Tidak ada komentar: